Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
"Bagiku, kau sekarang hanyalah seorang anak laki-laki kecil, sama seperti seratus ribu anak laki-laki lainnya. Dan aku tak membutuhkanmu. Dan kau juga tak membutuhkan aku. aku hanyalah seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tetapi jika kau menjinakkanku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kau akan unik di dunia ini. Bagimu, aku akan unik di dunia ini." Jika kau lihat sampul buku ini lantas membaca isinya selewat-selewat saja, yakinlah ini adalah buku anak-anak. Ditambah lagi banyak gambar di dalamnya, gambar yang kurang-lebih seperti gambar anak-anak, atau setidaknya, ditujukan bagi anak-anak. Bagi saya yang sombong ini, yang rajin baca buku filsafat dan segala-gala yang dianggap "berat", maka tak menariklah sepertinya buku ini. Pastilah hanya akan berisikan imaji dan imaji, padahal hidup ini kan, mesti realistis. Namun setelah memaksakan diri untuk membacanya secara detil, akhirnya saya tutup buku itu dengan bengong. Bengong entah kenapa, bengong memi