Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
PEDAGOGI LITERASI DI ERA POSMODERNISME 1) Syarif Maulana 2) Pada tahun 1996, seorang profesor matematika bernama Alan Sokal dari New York University memublikasikan artikel berjudul “ Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity ” di jurnal ilmiah bernama Social Text yang fokus pada hal-hal terkait kajian budaya ( cultural studies ) dan posmodernisme. Setelah dipublikasikan, Sokal kemudian mengakui, “Artikel tersebut adalah mélange (percampuradukan) dari kebenaran, semi-kebenaran, seperempat-kebenaran, kebohongan, pernyataan-pernyataan tidak relevan, dan kalimat-kalimat tidak bermakna.” 3) Apa tujuan sang profesor melakukan hal tersebut? Katanya, kira-kira, sekadar menunjukkan bahwa posmodernisme menjadi istilah yang kerap menunjuk pada segala sesuatu yang tampak keren, tampak berbudaya, tampak ilmiah, padahal tidak ada maknanya sama sekali. Ia juga sekaligus menyerang para pemikir posmodern seperti Jacques Derrida, Jean-François Lyot