Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Pada hari Sabtu kemarin, saya ditelpon oleh Kang Ismet, pimpinan grup musik Sambasunda. Intinya, saya diminta ke Majalaya esok hari atau hari Minggu, 26 September untuk memoderasi diskusi yang akan berlangsung di sela-sela pementasan virtual. Saya langsung mengiyakan meskipun sebelumnya sudah memproyeksikan hari Minggu itu untuk bersantai saja di apartemen. Waktu tempuh dari tempat tinggal saya ke Majalaya, Kabupaten Bandung, adalah sekitar 1,5 jam. Meski acara katanya dimulai pukul 14, tetapi saya sudah berangkat dari pukul 10 karena berencana untuk nongkrong terlebih dahulu di sebuah kafe di Majalaya. Alasannya, ya ingin ganti suasana saja. Sesampainya di sana, sekitar pukul 11.30, saya ngopi di tempat namanya Ri-Box. Tempat ini direkomendasikan oleh seorang kawan, Zulfa Nasrulloh, yang kebetulan memang warga lokal. Zulfa berencana datang sekitar pukul 13 dan sambil menunggu, saya mengerjakan materi presentasi tentang sinisme. Sambil menunggu pula, saya memesan kopi yang pasti saya