Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Pada hari Sabtu kemarin, saya ditelpon oleh Kang Ismet, pimpinan grup musik Sambasunda. Intinya, saya diminta ke Majalaya esok hari atau hari Minggu, 26 September untuk memoderasi diskusi yang akan berlangsung di sela-sela pementasan virtual. Saya langsung mengiyakan meskipun sebelumnya sudah memproyeksikan hari Minggu itu untuk bersantai saja di apartemen. Waktu tempuh dari tempat tinggal saya ke Majalaya, Kabupaten Bandung, adalah sekitar 1,5 jam. Meski acara katanya dimulai pukul 14, tetapi saya sudah berangkat dari pukul 10 karena berencana untuk nongkrong terlebih dahulu di sebuah kafe di Majalaya. Alasannya, ya ingin ganti suasana saja. Sesampainya di sana, sekitar pukul 11.30, saya ngopi di tempat namanya Ri-Box. Tempat ini direkomendasikan oleh seorang kawan, Zulfa Nasrulloh, yang kebetulan memang warga lokal. Zulfa berencana datang sekitar pukul 13 dan sambil menunggu, saya mengerjakan materi presentasi tentang sinisme. Sambil menunggu pula, saya memesan kopi yang pasti saya