Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2021

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Menunggu

Pada hari Sabtu kemarin, saya ditelpon oleh Kang Ismet, pimpinan grup musik Sambasunda. Intinya, saya diminta ke Majalaya esok hari atau hari Minggu, 26 September untuk memoderasi diskusi yang akan berlangsung di sela-sela pementasan virtual. Saya langsung mengiyakan meskipun sebelumnya sudah memproyeksikan hari Minggu itu untuk bersantai saja di apartemen. Waktu tempuh dari tempat tinggal saya ke Majalaya, Kabupaten Bandung, adalah sekitar 1,5 jam. Meski acara katanya dimulai pukul 14, tetapi saya sudah berangkat dari pukul 10 karena berencana untuk nongkrong terlebih dahulu di sebuah kafe di Majalaya. Alasannya, ya ingin ganti suasana saja.   Sesampainya di sana, sekitar pukul 11.30, saya ngopi di tempat namanya Ri-Box. Tempat ini direkomendasikan oleh seorang kawan, Zulfa Nasrulloh, yang kebetulan memang warga lokal. Zulfa berencana datang sekitar pukul 13 dan sambil menunggu, saya mengerjakan materi presentasi tentang sinisme. Sambil menunggu pula, saya memesan kopi yang pasti saya

Demotivasi dan Anjing

Dalam beberapa hari ini, Demotivasi 2 sedang dikirim-kirimkan pada mereka yang memesan sejak sebelum buku dicetak atau biasa disebut pre-order . Buku-buku ini rata-rata dikirimkan melalui jasa ekspedisi dan pada jarak dekat sekalipun, biasanya perlu minimal satu hari hingga sampai ke tangan penerima (jika dikirim hari ini, maka setidaknya besok baru sampai). Salah seorang pembeli, teman saya, Pangestu Hning Bhawana atau biasa dipanggil Estu, bertanya-tanya mengapa pesanannya tidak kunjung tiba padahal ia telah menunggu tiga hari. Pada keluhan-keluhan semacam itu saya hanya bisa mengatakan, "Tunggu saja."  Di hari keempat, Estu mengirim pesan berupa gambar bahwa bukunya telah sampai, tetapi dalam keadaan rusak. Rusak kenapa? Rupanya kurir ekspedisi melemparkan buku tersebut dan jatuh di kandang anjing. Si anjing mengoyak-ngoyak si buku hingga sebagian besar isinya tidak bisa dibaca. Saya turut sedih dengan kejadian itu dan mengirimkan buku yang baru sebagai pengganti. Di waktu

Tentang Tukang Cendol yang Tidak Mau Diborong

Harus diakui bahwa saya tidak punya sumber primer tentang kisah ini. Mudah-mudahan yang lebih penting adalah "pesan moral"-nya (meski saya kurang suka istilah pesan moral). Jadi begini, seorang teman, namanya Sutrisna atau saya panggil dengan sebutan Kang Tris, pernah bercerita tentang seorang tukang cendol yang tidak mau diborong. Katanya cerita tersebut ia ambil dari kumpulan kisah sufi yang ditulis oleh Cak Nun. Namun sampai sekarang saya belum pernah membaca sendiri kisah tersebut.  (Setelah saya menulis paragraf di atas, saya coba googling dan ternyata menemukan cerita tersebut! Silakan membaca kisahnya di sini )  Secara singkat, ini adalah cerita tentang tukang cendol yang seluruh dagangannya hendak diborong oleh seseorang yang akan mengadakan kumpul-kumpul. Setelah diborong, cendol tersebut rencananya dibagikan secara gratis pada tamu-tamu yang datang. Dalam pikiran sederhana kita, tentu saja semua senang jika cendol-cendol tersebut diborong. Bagi tukang cendol, dagang

Otentisitas > Pengalaman Estetik (?)

Made You Look: A True Story About Fake Art Beberapa hari yang lalu, dalam rangka persiapan mengisi forum tentang seni rupa kontemporer, saya menonton dan membaca beberapa hal terkait seni, baik yang berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer maupun yang tidak langsung. Saya membuka Netflix dan tertarik dengan film dokumenter berjudul Made You Look: A True Story About Fake Art (2020). Mungkin tidak berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer, tetapi saya menemukan sejumlah hal menarik (dan pada akhirnya bisa dihubung-hubungkan).  Film dokumenter yang disutradarai oleh Barry Avrich ini menceritakan tentang kasus lukisan palsu yang menyerang galeri Knoedler di New York, terkait berbagai transaksi yang dilakukan oleh presiden galeri, Ann Freedman, antara tahun 1994 sampai 2009. Lukisan yang dijualnya antara lain karya-karya Jackson Pollock, Mark Rothko, dan Robert Motherwell. Ann Freedman mendapatkan lukisan-lukisan tersebut dari orang bernama Glafira Rosales yang menjualnya