Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
11 Ramadhan 1433 H The Tree of Life adalah film eksperimental yang digarap oleh Terrence Malick. Film ini, meski berkisah tentang konflik keluarga, namun Malick tidak melihatnya dalam kacamata sempit keluarga itu sendiri. Ia mengajak penonton untuk melihat konflik tersebut dengan cara pandang mahaluas: Dari sudut pandang penciptaan alam semesta dan evolusi. Sudut-sudut pengambilan gambarnya pun menarik dan tak biasa. The Tree of Life dimulai dengan flashback masa kecil Jack (Sean Penn) ketika ia masih bersama orangtuanya di Texas. Jack mempunyai dua orang adik dan orangtua yang mempunyai karakter ayah dan ibu pada umumnya. Sang ayah, Mr. O’Brien (Brad Pitt) adalah tipikal ayah yang keras, yang melihat dunia si anak kelak akan menjadi dunia yang korup dan menyedihkan. Sehingga Mr. O’Brien lebih membiasakan anak-anaknya untuk mandiri dan disiplin. Sedangkan sang ibu, Mrs. O’Brien (Jessica Chastain) melihat anak-anaknya sebagai berkah, yang harus dijaga, yang mesti mend