Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2019

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Seniman tidak Usah Takut Undang-Undang

Tiga tahun silam, saya pernah bercakap dengan seniman asal Malaysia, Juhari Said, di Guangzhou. Kondisi di Tiongkok, bagaimanapun sangat represif terhadap berbagai bentuk pendapat yang mengritik pemerintah, termasuk lewat seni yang halus sekalipun. Hal demikian ternyata kurang lebih serupa dengan di Malaysia. Dibandingkan di Malaysia, kita itu bebas sekali. Berekspresi apapun hampir oke, kecuali komunisme.  Juhari Said kemudian berkata, "Jika seniman ditangkap oleh sebab karyanya dianggap mengritik pemerintah, saya tidak akan menyalahkan pemerintahnya saja, tapi juga si senimannya kurang pintar." Kemudian beliau bercerita satu kisah dari Hikayat Hang Tuah yang berjudul Putri Tujuh Dulang. Kisah itu, secara halus adalah kritik terhadap kekuasaan sultan yang otoriter. Disampaikan secara subliminal lewat perumpamaan-perumpamaan hingga menyebar ke seluruh rakyat. Katanya, begitulah seharusnya seniman bekerja dalam menyampaikan kritik.  Tiba-tiba ingat kata-kata muti

Acatalepsy dalam Koleksi

*) Ditulis dalam rangka Off Stage #2 dari Jalan Teater dengan tema "Membincangkan Naskah Koleksi karya Harold Pinter". Jumat, 25 Januari 2019 di Aku Sisi Kopi, Jalan Terusan Jakarta no. 20 - 22, Bandung.  Naskah Koleksi yang ditulis oleh Harold Pinter tahun 1961 saya pelajari melalui dua sumber, yang pertama adalah terjemahan dari naskah itu sendiri dalam Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar, dan penampilan kuartet Alan Bates, Malcolm McDowell (yang saya tidak akan melupakan perannya dalam A Clockwork Orange -nya Stanley Kubrick tahun 1971), Helen Mirren, dan Laurence Olivier yang ditayangkan di stasiun televisi CBS pada tahun 1976 (tentu saja saya saksikan via Youtube). Nyaris tidak ada perbedaan dari apa yang ditampilkan oleh Bates dan kawan-kawan dengan naskah yang diterjemahkan oleh TSB sehingga apa yang dibaca dan apa yang dilihat sangatlah sesuai dan itu amat mempermudah saya dalam memelajari naskah ini.  Kita tidak usah panjan

Balada Mart Mart yang Mengepung Toko Kelontong Tak Bernama

Sejak saya kecil, di dekat rumah berdiri sebuah toko kelontong tanpa nama. Kami hanya menyebutnya: warung Bu Yana. Lalu di daerah tempat saya pernah tinggal, juga ada toko kelontong tanpa nama, yang masyhur orang menyebutnya dengan warung Bu Agus. Keberadaan mereka jauh lebih awal daripada mulai datangnya gerai swalayan kecil macam Indomaret, Alfamart, dan –mart –mart lainnya.  Saya tidak tahu bagaimana pengaruh keberadaan gerai swalayan kecil terhadap toko-toko kelontong tanpa nama seperti warung Bu Yana dan Bu Agus. Hal yang pasti adalah belasan bahkan puluhan tahun, kedua toko kelontong tanpa nama yang saya tahu itu, tetap berjalan – Bu Yana malah sudah bercucu, dan masih juga jaga toko kelontong -.  Indomaret atau Alfamart memang menawarkan kemudahan. Tanpa berbasa-basi, kita masuk gerai, memilih sendiri apa yang mau kita beli, lalu dengan cepat membayarnya di kasir. Memang ada interaksi, tapi hanya sebentuk SOP yang kaku, yang bisa diabaikan dengan menjawab super cepat: “