Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Ketika Siddharta Gautama pergi berjalan-jalan ke luar istana dengan kereta, ia melihat empat hal yang membuatnya memutuskan untuk hidup tanpa wisma dan menjauhi dunia. Sebelum Siddharta melihat hal yang terakhir yakni seorang biksu asketik, terlebih dahulu ia menemukan kenyataan tentang mereka yang tua, mereka yang sakit, dan mereka yang mati. Atas segala hal yang baru dilihat oleh Siddharta untuk pertama kali tersebut, sang kusir kuda hanya menjawab enteng, "Kita semua juga akan seperti itu." Baik soal tua, sakit, dan mati, saya sendiri tidak pernah betul-betul merenungkannya. Mungkin renungan semacam itu memang terasa prematur bagi mereka yang relatif berusia muda (taruhlah saya yang sekarang dua puluh delapan ini tergolong muda :p). Berbagai ambisi, cita-cita, dan rencana ke depan yang berlimpah membuat saya dan Andrei Yefimich Ragin -tokoh dalam Ruang Inap no. 6 -nya Chekhov- punya keyakinan yang sama: Bahwa iya, saya tidak akan mati. Namun hidup selalu memberi kit