Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2014

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kusir Kuda

Ketika Siddharta Gautama pergi berjalan-jalan ke luar istana dengan kereta, ia melihat empat hal yang membuatnya memutuskan untuk hidup tanpa wisma dan menjauhi dunia. Sebelum Siddharta melihat hal yang terakhir yakni seorang biksu asketik, terlebih dahulu ia menemukan kenyataan tentang mereka yang tua, mereka yang sakit, dan mereka yang mati. Atas segala hal yang baru dilihat oleh Siddharta untuk pertama kali tersebut, sang kusir kuda hanya menjawab enteng, "Kita semua juga akan seperti itu." Baik soal tua, sakit, dan mati, saya sendiri tidak pernah betul-betul merenungkannya. Mungkin renungan semacam itu memang terasa prematur bagi mereka yang relatif berusia muda (taruhlah saya yang sekarang dua puluh delapan ini tergolong muda :p). Berbagai ambisi, cita-cita, dan rencana ke depan yang berlimpah membuat saya dan Andrei Yefimich Ragin -tokoh dalam Ruang Inap no. 6 -nya Chekhov- punya keyakinan yang sama: Bahwa iya, saya tidak akan mati. Namun hidup selalu memberi kit

Tidak Ada Apa-Apa

Mungkin tidak ada satupun dari kita yang tidak punya cita-cita untuk mengubah kehidupan. Persoalannya adalah soal skala. Ada yang mau mengubah kehidupan dalam skala yang besar, sebesar luas dunia itu sendiri. Ada juga yang cukup di lingkup masyarakat tempat tinggalnya, mengecil ke lingkup keluarga, hingga akhirnya cukup mengubah kehidupan dengan merubah dirinya sendiri. Tapi persoalannya, apakah dunia betul-betul berubah dengan apa yang kita lakukan? Tidakkah dilihat dalam kacamata makrokosmos, sesungguhnya tidak ada signifikansi setitik pun, tentang apa yang dilakukan oleh umat manusia terhadap keseluruhan kehidupan? Kita bisa lihat bagaimana kejahatan adalah sasaran abadi yang selalu menarik untuk dihabisi dari sejak permulaan dunia. Tapi sehebat apapun mereka para pembasmi kejahatan bekerja, kejahatan itu sendiri tetap ada seolah-olah Tuhan memang menghendakinya. Kemiskinan pun sama. Kita semua sudah mendengarkan berbagai ideologi yang terus menerus mencari model terbaik agar se