Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Ketika kawan Erie Setiawan mengirimkan buku Imagi-Nation: Membuat Musik Biasa Jadi Luar Biasa dari Yogya, saya langsung menghabiskan buku setebal kurang lebih seratus halaman itu dalam sehari. Namun bukan ketipisan buku itu yang membuat saya sanggup membaca cepat. Entah oleh sebab sang penulis, Vince McDermott, atau kelihaian sang penerjemah, yang pasti kata-kata dalam buku ini amat renyah, lincah, dan sepertinya sudah dibuat sedemikian rupa agar tidak membuat pembaca ketakutan dengan topiknya. Apa yang dibahas oleh McDermott sesungguhnya tidak semudah gaya bahasanya. Ia menyuguhkan banyak hal mendasar tentang musik yang justru merupakan topik yang tidak populer -bahkan di kalangan akademisi musik sekalipun?-. Hal yang mendasar ini bukan berarti menyoal teori atau praktik dasar dalam bermusik. McDermott memulai bukunya dengan membahas apa itu estetika, apa perbedaan estetika barat dan timur, hingga memperdebatkan apakah musik kemudian harus ditransfer kembali pada kata-kata u