Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2015

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Hidup yang Biasa

Minimal seminggu sekali, saya selalu menyempatkan diri untuk datang ke Pasar Ciwastra. Apa yang saya lakukan bermacam-macam, apakah sekadar minum kopi, makan bubur ayam, mengunjungi pedagang ikan, atau tiada alasan tertentu: Hanya duduk dan memandangi orang lalu-lalang. Mungkin saya terinspirasi Sokrates, yang selalu berjalan-jalan ke agora (semacam alun-alun di jaman Yunani Kuno) untuk mencari kebenaran dengan cara menanyai orang-orang yang ditemui. Saya tidak punya keberanian seperti Sokrates, juga sepertinya tidak sopan, dalam kebudayaan kita, tiba-tiba menyapa orang dan bertanya macam-macam. Kalau cuma harga bawang atau dimana lokasi pedagang ayam, boleh saja. Tapi jika bertanya tentang prinsip-prinsip mengapa mereka berdagang, apa filosofi yang mendasarinya, serta bagaimana menjadi pedagang yang baik, tentu saya akan dianggap tidak sopan. Apa yang saya lakukan cukup memperhatikan, dan sedikit mendengarkan obrolan. Saya merasa bahwa kehidupan orang-orang di pasar adalah kehidu

Puisi Kolam Ikan

Aku punya kolam ikan Isinya lele putih, komet, dan patin Setiap hari aku duduk di pinggirnya Menyapa lalu berbincang tentang situasi dunia Kata lele putih, "Dunia ini indah, saat kamu melempar pakan" Kata komet, "Dunia ini indah, saat air jernih senantiasa sehingga aku dapat memandangi angkasa" Kata patin, "Dunia ini indah, jika batu kecil diperbanyak agar aku bisa bersembunyi diantaranya" Tapi aku tidak tertarik pada ucapan mereka Aku terus membahas harga BBM yang naik-turun dan tragedi AirAsia Suatu hari aku tinggalkan mereka karena bosan Aku merasa ikan-ikan itu tak paham situasi global Aku merasa ikan-ikan itu tak punya kepedulian nasional Keesokan harinya, setelah tak lagi kesal, aku sambangi kembali kolam ikan Mereka semua sudah mati bahagia