Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2014

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Belajar dari Mengajar

  Sampai hari ini, ketertarikan terbesar saya masih pada bidang filsafat. Filsafat adalah hal yang tidak saya pelajari secara resmi -jika definisi resmi adalah jurusan di masa kuliah-. Akibat tidak belajar di universitas mengenai hal tersebut secara spesifik, terang saja butuh tenaga lebih untuk comot ilmu sana-sini demi meredakan dahaga yang tidak pernah habis-habis.  Sumber pertama, saya mencomot ilmu filsafat dari buku-buku filsafat, tentu saja. Dengan tertatih-tatih, saya mencoba mencerna buku-buku semacam Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dan Petualangan Filsafat: Dari Sokrates ke Sartre karya T.Z. Lavine. Kedua, saya ikut kursus filsafat di Unpar dengan nama Extension Course Filsafat (ECF). Di sana, saya mengalami banyak pencerahan terutama dari paparan orang-orang yang mempunyai ethos tinggi seperti Bambang Sugiharto, Franz Magnis Suseno, dan Goenawan Mohamad.  Ketiga, ini juga tidak kalah penting, adalah berbincang dengan bapak saya. Ia sepertinya senang dengan keg

Proporsionalisme

Sekarang, orang yang mempunyai banyak kemampuan, berpotensi dikenai tuduhan tidak profesional. Bapak saya adalah seorang seniman, tapi juga sekaligus atlit pingpong. Oleh kawannya, ia sempat dikomentari, “Seniman kok olahraga!” Bapak saya menanggapi hal tersebut dengan tertawa. Katanya, “Mungkin teman saya itu punya stereotip bahwa seniman adalah orang yang merokok, minum kopi, dan bajunya penuh cipratan cat setelah habis berkarya. Citra olahraga tidak pernah melekat dalam diri seorang seniman.”  Dunia modern sukses melahirkan konsep profesionalisme. Kemungkinan ia lahir dari sistem akademik yang percaya bahwa seorang individu sebaiknya hanya menjadi pakar di satu bidang. Untuk apa? Agar ia bisa fokus dan bidang yang ia tekuni dapat berkembang. Tapi kita bisa tengok Aristoteles, filsuf Yunani dari sekitar empat ratus tahun sebelum masehi. Oleh dunia kita hari ini, ia disebut sebagai seorang polymath atau seorang serba bisa. Kita tidak bisa mencap Aristoteles dengan satu sebutan sa

Kebahagiaan dan Alam Sana

  Kata Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Alam Pikiran Yunani , orang yang belajar filsafat adalah orang yang bahagia karena ia hidup di alam lain. Apa maksud perkataan itu tidaklah jelas. Juga diantara kita, yang tidak menyukai filsafat, tentu saja juga mempunyai kebahagiaannya sendiri. Mungkin malah sebaliknya. Mereka yang belajar filsafat tampak seperti orang-orang yang bingung, gelisah, dan murung. Jadi, apa maksud kata-kata Mohammad Hatta tersebut? Belakangan ini saya kerap menemukan cerita-cerita dari sekitar. Isinya seputar konflik dan kesedihan. Mulai dari rumah tangga yang kurang harmonis, lingkungan kerja yang menyebalkan, hingga pencapaian dan target hidup yang tak terpenuhi. Keseluruhan cerita tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah kebahagiaan itu sebenarnya? Apakah jika hal-hal diatas teratasi, kita bisa menjadi bahagia? Pertanyaan yang mengerikan adalah: Apakah saya bahagia?  Pertanyaan yang terakhir adalah yang paling menggelitik. Juga untuk menjawa