Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Tadi, setelah menonton ulang The Matrix, saya melakukan beberapa perawatan pra-nikah yang wajib dijalankan oleh sebab disuruh oleh otoritas bernama orangtua. Dalam The Matrix saya menemukan adanya konsep "kekuasaan di sekitar kita", yang sesungguhnya membuat konsep kehendak bebas manusia menjadi sia-sia. Tadinya saya tidak paham-paham amat, sebelum akhirnya terjawab langsung lewat perawatan pra-nikah tersebut. Perawatan yang saya lakukan adalah membersihkan wajah atau kita sebut saja secara trendi dengan facial. Sebetulnya saya tidak suka, karena ternyata sakit bukan main. Saya anggap para facialist adalah orang masokis: mereka menikmati kesakitan. Namun sebagai budak lembaga bernama pernikahan, saya taat saja demi kelancaran bersama. Setelah konsultasi dengan dokter, apa yang terjadi berikutnya adalah vonis yang menyebutkan bahwa wajah saya harus dilaser. Saya ditidurkan di suatu ruangan, diberi kacamata anti radiasi, ditutup kupingnya, dan sayup-sayup terdengar suara dokte