Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2010

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Hadiah Penalti

Peluit berbunyi sesaat setelah Arif Suyono menyundul bola dan mengenai tangan bek Malaysia. Penalti! Wasit asal Australia menunjuk titik putih. Stadion meledak. Gembira karena konon penalti adalah separuh gol. Bagaimana tidak, gawang sebesar demikian hanya tinggal diceploskan dari dua belas meter saja. Kedudukan saat itu 0-0. Menit ke-17. Final leg kedua Piala AFF dimana Indonesia mesti menang dengan selisih empat gol, akibat di leg pertama kami ditundukkan Malaysia 3-0 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur. O, coba tengok gelegak para suporter di sini: Di sekitar tempat saya berdiri. Mereka terlalu haus untuk diberi minum setetes air. Dahaga mereka ingin dipuaskan oleh anggur yang memabukkan. Dan anggur itu berjarak cukup jauh untuk diraih. Tapi kami bisa, kami sanggup. Semua optimis Indonesia mampu membalas kekalahan dengan jumlah gol yang lebih banyak sehingga mampu merengkuh trofi. Anggur yang memabukkan itu. Penalti, dalam hampir sebagian besar peristiwanya, sering disebut sebagai

Catatan Harian Seorang Suporter: Drama Antrian Enam Belas Jam

Awalnya, saya tidak ada niat mengantri tiket Final Piala AFF, sehubungan dengan janji kawan yang sanggup menyediakan tiket via kenalannya. Ternyata janji itu mendadak batal, akibat distribusi tiket dari PSSI yang sama sekali beda dengan babak-babak sebelumnya. Kawan saya bilang, singkatnya, “Yang sekarang beda, kita mesti ngantri.” Saya jawab, “Oke, ga masalah, dari abis maghrib gimana?” “Yah, jangan abis magrib banget lah, jam dua belas aja ya?” Singkat kata, kami mencapai kata sepakat untuk antri sejak jam dua belas malam. Sebagai informasi, loket konon baru dibuka antara jam sembilan atau jam sepuluh pagi. Malam itu sudah lewat jam dua belas ketika kami tiba di parkiran loket yang terletak di pintu utama. Ternyata antrian sudah cukup panjang, sekitar dua ratus meter. Tiket yang dilepas seharga 50.000 Rupiah itu telah ditunggui orang bahkan dari sejak jam sembilan malam. Kami, berempat jumlahnya, mengampar beralaskan koran. Saya pribadi sulit tidur nyenyak, karena perasaan campur adu

Tiki Taka

Bayangkan sebuah orkestra bernama Barcelona. Semua dimulai dari dirigen bernama Xavi. Ia pemimpin rombongan, dan seluruh pemain menunggu aba-abanya. Tongkat konduktor ia angkat tanda bersiap, para pemain bergerak mengangkat instrumennya masing-masing. Biasanya segalanya dimulai dari denting harpa Busquets. Ia membunyikan intro ringan, semata-mata agar suasana menjadi terbiasa. Di bar kedelapan Busquets menaikkan volume. Forte . Tak lama kemudian berbunyi jua instrumen lain. Suasana menjadi ramai, riang, dan memukau. Iniesta membunyikan flute, muncul sesekali bagaikan balutan improvisasi. Suaranya bagai desah angin di pegunungan. Xavi menunjuk Villa, dan ia pun memeragakan permainan brass yang mahir. Meliuk-liuk bagai wanita di klab malam. Jangan sampai membosankan, kawan, kata Xavi sambil meminta Puyol dan Pique mendeciskan cymbal. Alves, giliranmu, mainkan cello. Rambatilah sudut ruangan dengan jangkauan nadamu yang luas dan seksi. Pedro turun kau kemari, buang partitur itu, dan ma

Del Piero dan Kesetiaan

". .. benda yang akrab ke dalam hatiku -dan sebab itu ia punya arti bagiku- cuma jadi benda yang tiap saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. " (Goenawan Mohamad menginterpretasi Hegel tentang ein sich in sich selbs bewegende Leben des Todes ) Sepakbola Italia pernah menorehkan catatan kelam tahun 2006 silam. Namanya calciopoli , atau skandal pengaturan skor yang melibatkan banyak klub besar Seri A, dan salah satunya adalah klub favorit saya, Juventus. Juventus dihukum degradasi ke Seri B dan memulai kompetisi dengan minus 30 poin. Gelar scudetto tahun 2005 dan 2006 pun dicabut. Kover depan koran BOLA saat itu, saya ingat, judulnya EKSODUS, yang menunjukkan adanya hijrah pemain besar-besaran dari Juventus ke klub lain. Alasannya apa lagi, kalau bukan gengsi yang turun karena sebagian besar pemain bintang tersebut menolak main di kasta kedua. Zlatan Ibrahimovic, Patrick Vieira, dan Fabio Cannavaro adalah contoh tiga bintang yang memutuskan keluar dari Juventus. Yang tingga

Mengukur Kualitas Keimanan David Villa

"Bola itu bundar, kita tidak akan tahu jatuh dan memantul kemana." Saya tidak tahu siapa yang mengucapkan itu, tapi barangkali kita semua tahu kalimat itu sangat terkenal. Seperti halnya kalimat tauhid, saya asumsikan kalimat itulah yang menjadi pijakan keimanan pesepakbola manapun. Sehebat-hebatnya strategi pelatih, sejago-jagonya kemampuan pemain, jika mengingkari bahwa bola itu bundar, maka dalam kegagalannya ia akan jatuh pada jurang yang pahit dan tersesat disana. Namun kalimat "tauhid sepakbola" itu adalah penyelamat sejati, ketika aktor sepakbola mengalami kekalahan dan kejatuhan yang pastinya lumrah di roda kehidupan. Mereka tahu bahwa bola yang bundar adalah realitas sejati yang menyebabkan jatuh dan memantulnya tak pernah mampu ditebak kemana arahnya. Dan karena itu, pantulan yang tak diketahui adalah ambang batas terakhir alasan untuk sebuah kegagalan yang tak bisa dijelaskan. Kita semua tahu Filippo Inzaghi adalah fenomena sepakbola. Bukan karena kemampu