Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2017

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Masih Adakah Nuansa Personal Dalam Pusaran Digitalisasi Maaf-Maafan?

Lebaran tahun 1438 Hijriah ini, dunia digital masih dan semakin berkuasa. Nyaris setiap menit (atau bahkan detik), pesan demi pesan masuk ke Whatsapp saya, yang kadang saya baca, tapi umumnya tidak. Kenapa tidak dibaca? Tentu saja, karena pesan itu semua terlihat sama saja. Mungkin ada beberapa yang kreatif - yang menimbulkan senyum kecil, yang membuat saya ingin meneruskan pesan itu - tapi sayang sekali, tidak orisinil. Ia yang saya pikir kreatif itu, juga meniru dari yang lain.  Tapi dalam dunia kontemporer ini, mungkin orisinalitas adalah isu yang ketinggalan. Semua memproduksi, semua mengonsumsi. Di masa lebaran, kita berada dalam pusaran "digitalisasi maaf-maafan" yang sangat masif, sehingga semua bisa kreatif, semua bisa inovatif, semua bisa merajut kata-kata indah, semua bisa menyuguhkan ragam visual yang estetis, tapi sekaligus: semua menjadi tidak bermakna. Pada titik ini, kita sudah sulit berbicara " medium is the message "-nya Marshall McLuhan ya

Menunda Asumsi, Melesapi Peristiwa: Selayang Pandang Konsep Fenomenologi dalam Pandangan Husserl dan Caputo

Pada awal abad ke-20, muncul benih-benih perlawanan terhadap paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan. Cara pandang yang sudah sedemikian lekat sejak era Francis Bacon di abad akhir ke-16 tersebut dianggap tidak mampu menjawab sejumlah permasalahan. Protes mulai bermunculan ketika Auguste Comte, seorang sosiolog Prancis di abad ke-19, menyerukan dengan sangat yakin, bahwa sebagaimana halnya alam yang bisa diprediksi dan dikontrol, manusia pun akan sampai pada tahap yang demikian. Majunya ilmu pengetahuan, bagi Comte, akan membawa manusia keluar dari fase teologis dan metafisik, sehingga masuk ke suatu era yang paling cerah: era positif. Pada titik ini, sederhananya, segalanya menjadi jelas dan bisa dijelaskan, baik fenomena alam maupun fenomena manusia.  Protes tersebut datang dari beberapa kubu. Wilhelm Dilthey misalnya (1833 – 1911), membedakan tegas antara ilmu-ilmu alam ( naturwissenschaften ) dan ilmu-ilmu manusia ( geisteswissenschahften ). Ilmu-ilmu alam, menurut

Manusia di Hadapan Teknologi: Tuan atau Budak?

  Kita sering menyebut abad ini sebagai abad teknologi. Nyaris tidak ada satu hal pun yang kita lakukan tanpa melibatkan bantuan teknologi. Teknologi juga telah membawa kita pada hal-hal yang sulit terbayangkan sebelumnya: Mengetahui berita lintas benua secara langsung, mempublikasikan sebuah pesan serentak ke seluruh dunia dalam waktu kurang dari sedetik, berkendara melampaui samudera, hingga menembus atmosfer dan melayang-layang di ruang hampa udara. Ketika Era Renaisans bermula pada sekitar tahun 1500-an, masyarakat Eropa mulai mempertimbangkan rasionalitas sebagai pusat dari kehidupan manusia dan mengembangkannya tanpa henti. Hingga abad-abad ke depannya, kredo “manusia mengendalikan alam” terus menjadi sandaran bagi setiap perkembangan teknologi. Umat manusia serta merta ada pada ledakan kegembiraan setiap ada penemuan baru. Mereka percaya bahwa kita semua, seperti kata Friedrich Hegel, berada pada suatu perjalanan menuju pencerahan.  Namun menjelang abad ke-21, ketika teknol

Menahan Diri dari Berbelanja, Bisakah?

Bulan Ramadhan telah datang, dan umat Muslim di Indonesia pada umumnya berpuasa – atau setidaknya, begitulah kelihatannya-. Seperti kita ketahui secara umum, puasa berarti menahan diri dari segala kenikmatan badani seperti makan, minum, dan seks. Tidak hanya itu, puasa juga menekan nafsu-nafsu negatif lainnya seperti membicarakan kejelekan orang lain, menghina, melihat hal-hal tidak senonoh, atau mungkin juga, menyebarkan hoax (untuk yang terakhir ini, belum kelihatan buktinya).  Namun ada hal yang tidak pernah dibahas sebagai bagian dari nafsu “negatif” yang faktanya terjadi saat bulan puasa hingga nanti lebaran, yaitu nafsu berbelanja. Menjadi konsumtif adalah salah satu tren yang umum terjadi di Indonesia pada periode ini. Misalnya, yang biasanya makan di rumah, karena sekarang makan menjadi momen istimewa, maka lebih indah jika makan itu beli jadi, atau sekalian di restoran, sambil reuni. Menjelang lebaran nanti, apalagi. Baju baru menjadi tujuan hidup yang utama, karena seol

Kelas Logika: Berpikir Induktif

  Berpikir induktif berarti berpikir dari kejadian khusus ke kesimpulan yang bersifat umum. Pada dasarnya, cara berpikir kita memang demikian adanya, termasuk pada saat berpikir deduktif sekalipun. Misalnya, pada silogisme yang paling umum seperti:  Semua manusia akan mati  Sokrates adalah manusia  Sokrates akan mati Premis “semua manusia akan mati” sebenarnya hanya abstraksi dari pengalaman-pengalaman kita akan matinya beberapa manusia. Pada dasarnya, secara epistemologi, kita tidak bisa mengetahui apakah semua manusia itu mati atau tidak.  1. Argumen Kausal Mill  Pada abad ke-19, seorang pemikir Inggris, John Stuart Mill merumuskan lima argumen kausal. Argumen kausal dengan berpikir induktif adalah saling bertalian. Hal tersebut sesuai dengan definisi Aristoteles tentang sains, yaitu, “Penjelasan atas segala sesuatu dengan menelusuri sebab-sebabnya.” Penelusuran sebab-sebab tersebut oleh Mill dibagi ke dalam lima bagian.  1.1. Metode Kesamaan  Metode kesa

(Komunitas Kebangsaan) Membahanakan Ide dari Ruang Kecil (5 dari 5)

*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015 Komunitas kebangsaan yang menjadi fenomena belakangan ini seperti Asian African Reading Club (AARC) dan Api Bandung, sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru. Jauh sebelumnya, puluhan tahun silam, para Bapak Bangsa sudah mendirikan komunitas kebangsaan. Sejarah Republik kita mengenal Budi Utomo, suatu organisasi pemuda yang sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa kedokteran di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia. Pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 itu sampai sekarang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Meski dianggap sebagai tonggak kebangkitan –salah satunya melahirkan Indische Partij , organisasi politik yang cukup vokal menuntut kemerdekaan Indonesia-, keberadaan Budi Utomo tidak lepas dari tudingan-tudingan miring.  Misalnya, Pramoedya Ananta Toer berkata bahwa Budi Utomo sebenarnya tidak lebih daripada organisasi e

(Komunitas Kebangsaan) Jalan Sunyi Para Penjual Buku (4 dari 5)

*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015 Jika ada beberapa dari kita mempunyai ketertarikan untuk mengetahui lebih jauh hal-ikhwal pemikiran dari para Bapak Bangsa maupun pergerakan nasional Indonesia, tentu di zaman sekarang ini, internet menyediakan semuanya. Ketersediaan yang cukup lengkap di internet tersebut bisa jadi menyurutkan semangat sebagian orang untuk mencari sumber dari buku. Alasannya, tentu saja, selain lebih membutuhkan tempat untuk menyimpannya, buku-buku juga harus dibeli (bandingkan dengan informasi dari internet yang bisa didapat secara gratis).  Maka itu, jika melihat ada sebagian kecil lapak yang masih mau berjualan buku-buku tua bertema kebangsaan, tentu kita bisa menyebut bahwa jalan yang mereka tempuh, adalah jalan yang sunyi. Salah satu penempuh jalan sunyi itu adalah Lawangbuku yang bertempat di Balubur Town Square. Lapak berukuran sekitar dua kali tiga meter milik Deni Rachman tersebut mem

Kelas Logika: Silogisme

Silogisme merupakan bentuk kegiatan akal budi tingkat ketiga yang dinamakan juga dengan argumentasi. Diklasifikasikan sebagai cara berpikir yang bersifat deduktif, silogisme sering juga disebut sebagai “jantung”-nya ilmu logika. 1. Unsur-Unsur Silogisme  Kita bisa mulai pelajaran tentang silogisme ini dari contoh paling klasik yaitu sebagai berikut: Semua manusia akan mati Sokrates adalah manusia Sokrates akan mati Jika kita perhatikan silogisme, maka ada unsur-unsur sebagai berikut: 1.1. Terdapat tiga proposisi yang terdiri dari dua premis dan satu kesimpulan . Dua premis: “Semua manusia akan mati” dan “Sokrates adalah manusia”; Satu kesimpulan: “Sokrates akan mati”. 1.2. Terdapat tiga term , yang mana setiap term digunakan dua kali . Ada tiga term yaitu “manusia”, “mati”, dan “Sokrates”. 1.3. Subjek dari kesimpulan disebut juga dengan term minor . Subjek dari kesimpulan: “Sokrates”. 1.4. Predikat dari kesimpulan disebut juga dengan term mayor . Pred

(Komunitas Kebangsaan) Membangun Masa Depan (Lewat) Museum (3 dari 5)

*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015 “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” kata Soekarno dalam pidatonya di tahun 1966. Bangsa yang besar, lanjut sang proklamator, adalah bangsa yang menghargai sejarahnya sendiri. Perwujudan kalimat yang kemudian disingkat dalam akronim “Jas Merah” tersebut tentu bisa kita temukan di dunia pendidikan. Pelajaran mengenai sejarah Indonesia tidak pernah luput diajarkan dari mulai tingkat sekolah dasar, sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi. Pendidikan sejarah juga dapat kita temukan melalui film-film yang marak beredar di bioskop belakangan ini seperti Soekarno, Sang Kiai, Sang Pencerah dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto . Selain itu, ada pula museum. Museum memberikan pendidikan penting lewat benda-benda bersejarah. Melalui artefak tersebut, para pengunjung dapat membayangkan serta merasakan apa yang terjadi di suatu masa yang lampau.  Di Bandung sendiri, ada sejumlah museum

Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Pandangan Althusserian

(Tulisan ini adalah pengembangan Power Point yang dipresentasikan di acara KAA: Dari Pancasila ke Dasasila pada tanggal 1 Juni 2017) Topik ini dipilih untuk memberi variasi pandangan setelah pembicara lain, Desmond Satria Andrian memaparkan tentang "Historisitas Pancasila" dan Dian Andriani memaparkan tentang "Pancasila sebagai Sumber Hukum". Saya ingin agar para hadirin sedikit melihat kembali Pancasila sebagai sebuah ideologi, yang maka itu, tidak haram untuk dikritisi. Justru kritik perlu dilancarkan untuk membangun kembali pemahaman yang lebih kuat - yang bisa berangkat dari apologi atas kritik tersebut -.   Apa itu Ideologi? Berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani yaitu idea dan akhiran -logia . Idea  secara etimologis artinya bentuk atau pola. Idea dalam konteks ini lebih ke arah ide dalam pemahaman John Locke, yang berarti "abstraksi dari kenyataan" dan bukan ide a la Rene Descartes yang sifatnya innate atau bawaan. Sedangka

(Komunitas Kebangsaan) Mereka Berusaha Menumbuhkan Elan (2 dari 5)

*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015 Tumbuhnya komunitas kebangsaan dapat diartikan sebagai respon terhadap konsep nasionalisme yang kian pudar, terutama di kalangan generasi muda. Asian African Reading Club (AARC), misalnya, menumbuhkan semangat nasionalisme lewat pengkajian pemikiran para Bapak Bangsa. Komunitas yang berkumpul setiap hari Rabu di Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) tersebut mempunyai program bernama tadarus buku. Apakah gerangan tadarus buku? Misalnya, karya Soekarno yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi , dibaca secara bergantian -dengan masing-masing orang membaca sebanyak dua hingga tiga halaman-. Kegiatan tersebut tentu tidak dilakukan dalam satu kali pertemuan saja. Kegiatan dilanjutkan di Rabu-Rabu berikutnya, hingga akhirnya buku Di Bawah Bendera Revolusi dengan tebal ribuan halaman tersebut, selesai hingga tanda titik yang terakhir. “Tadarus buku Di Bawah Bendera Revolusi ,” kata Adew H

(Komunitas Kebangsaan) Menebalkan Kembali Nasionalisme yang Pudar (1 dari 5)

*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015 Jika Indonesia diibaratkan orang yang tengah jatuh sakit, tentu ia butuh obat agar sembuh. Obat yang sedang ramai ditawarkan adalah perbaikan akhlak, mental, maupun karakter. Masing-masing dari kita punya versi sendiri tentang racikan obat tersebut. Ada yang menganggap bahwa racikan terbaik terbuat dari nilai-nilai agama. Ada yang menganggap bahwa racikan terbaik terbuat dari nilai-nilai yang diadopsi dari negara maju. Namun ada juga yang merasa bahwa seharusnya obat tersebut terbuat dari konsep nasionalisme.  Persoalannya, konsep nasionalisme sedang mengalami kelangkaan. Ada macam-macam penyebabnya: Keberadaan internet yang membuat orang semakin berpikir across national border , pengaruh budaya asing yang sangat kuat lewat media massa, sejarah nasional yang ternyata punya banyak versi, modernisme yang membuat orang berpikir praktis, cepat, dan fungsional –tanpa mau dipusingkan ol