Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya. Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang. Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di
Lebaran tahun 1438 Hijriah ini, dunia digital masih dan semakin berkuasa. Nyaris setiap menit (atau bahkan detik), pesan demi pesan masuk ke Whatsapp saya, yang kadang saya baca, tapi umumnya tidak. Kenapa tidak dibaca? Tentu saja, karena pesan itu semua terlihat sama saja. Mungkin ada beberapa yang kreatif - yang menimbulkan senyum kecil, yang membuat saya ingin meneruskan pesan itu - tapi sayang sekali, tidak orisinil. Ia yang saya pikir kreatif itu, juga meniru dari yang lain. Tapi dalam dunia kontemporer ini, mungkin orisinalitas adalah isu yang ketinggalan. Semua memproduksi, semua mengonsumsi. Di masa lebaran, kita berada dalam pusaran "digitalisasi maaf-maafan" yang sangat masif, sehingga semua bisa kreatif, semua bisa inovatif, semua bisa merajut kata-kata indah, semua bisa menyuguhkan ragam visual yang estetis, tapi sekaligus: semua menjadi tidak bermakna. Pada titik ini, kita sudah sulit berbicara " medium is the message "-nya Marshall McLuhan ya