Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Lebaran tahun 1438 Hijriah ini, dunia digital masih dan semakin berkuasa. Nyaris setiap menit (atau bahkan detik), pesan demi pesan masuk ke Whatsapp saya, yang kadang saya baca, tapi umumnya tidak. Kenapa tidak dibaca? Tentu saja, karena pesan itu semua terlihat sama saja. Mungkin ada beberapa yang kreatif - yang menimbulkan senyum kecil, yang membuat saya ingin meneruskan pesan itu - tapi sayang sekali, tidak orisinil. Ia yang saya pikir kreatif itu, juga meniru dari yang lain. Tapi dalam dunia kontemporer ini, mungkin orisinalitas adalah isu yang ketinggalan. Semua memproduksi, semua mengonsumsi. Di masa lebaran, kita berada dalam pusaran "digitalisasi maaf-maafan" yang sangat masif, sehingga semua bisa kreatif, semua bisa inovatif, semua bisa merajut kata-kata indah, semua bisa menyuguhkan ragam visual yang estetis, tapi sekaligus: semua menjadi tidak bermakna. Pada titik ini, kita sudah sulit berbicara " medium is the message "-nya Marshall McLuhan ya...