Skip to main content

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

30hari30film: Curse of The Golden Flower (2006)


7 Ramadhan 1433 H
 
 

 
Film ini punya hampir semua syarat untuk menjadi film papan atas: Penampilan para aktor yang prima, jalan cerita yang sukar ditebak hingga akhir, efek pertempuran yang canggih, kostum istimewa, hingga latar istana dan pegunungan yang menawan. Meski demikian, Curse of The Golden Flower yang digarap oleh Zhang Yimou ini punya sedikit kelemahan yang bisa jadi krusial: Penggarapan musik. Musik yang ditata oleh Shigeru Umebayashi kurang bisa menopang pelbagai adegan yang dramatik dan mempesona.

Film ini berkisah tentang intrik di keluarga kerajaan antara kaisar (Chow Yun Fat), permaisuri (Gong Li), dan ketiga anaknya yaitu pangeran Wan (Liu Ye), pangeran Jai (Jay Chou) dan pangeran Yu (Qin Junjie). Kaisar dan permaisuri tidaklah akur. Di satu sisi, kaisar berusaha meracuni permaisuri lewat racun yang disusupkan pada obat yang rutin diminum permaisuri. Di sisi lain, permaisuri pun berupaya untuk mengudeta kaisar lewat sang anak kedua, pangeran Jai. Intrik ini meluas keluar wilayah keluarga ini setelah mengetahui bahwa ada affair antara pangeran Wan dengan anak dari dokter kerajaan yakni Jiang Chan (Li Man). Problem ini semakin kompleks setelah diketahui ada pertautan romantika antara ibu dari Jiang Chan, dengan sang kaisar di masa lalunya.

Film ini meski didominasi oleh dialog dan tidak banyak adegan kungfu yang khas muncul di film-film Cina, namun kita bisa dibuat duduk bertahan dari awal hingga akhir. Hal tersebut tidak lepas dari kekuatan akting Chow Yun Fat dan Gong Li. Disamping itu, warna-warni yang dibentangkan oleh film juga membuat mata dimanjakan (ini terjadi sedari pembuka film ketika ratusan dayang kerajaan bersalin pakaian). Adegan kolosal berupa perang besar antara tentara kaisar versus tentara permaisuri di menjelang akhir film juga –meski tidak seberapa dramatis tapi tetap- memberikan kesan tersendiri. Jangan lupa, yang menjadi kekuatan Curse of The Golden Flower tentu saja kenyataan bahwa di balik citra kerajaan yang tenang dan tanpa konflik, terdapat intrik yang begitu mendidih dan siap meletus di waktu yang tepat. Jika bicara jalan cerita, film berdurasi 114 menit ini memang jempolan. Tapi jika yang diniatkan sutradara adalah ke-kolosal-an, maka Curse of The Golden Flower ini menyajikannya terlalu banyak. Ibarat martabak manis yang terlalu melimpah susu dan kejunya.

Rekomendasi : Bintang Tiga Setengah

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1