Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
7 Ramadhan 1433 H
Film ini punya hampir semua
syarat untuk menjadi film papan atas: Penampilan para aktor yang prima, jalan
cerita yang sukar ditebak hingga akhir, efek pertempuran yang canggih, kostum
istimewa, hingga latar istana dan pegunungan yang menawan. Meski demikian, Curse of The Golden Flower yang digarap
oleh Zhang Yimou ini punya sedikit kelemahan yang bisa jadi krusial: Penggarapan
musik. Musik yang ditata oleh Shigeru Umebayashi kurang bisa menopang pelbagai
adegan yang dramatik dan mempesona.
Film ini berkisah tentang intrik
di keluarga kerajaan antara kaisar (Chow Yun Fat), permaisuri (Gong Li), dan
ketiga anaknya yaitu pangeran Wan (Liu Ye), pangeran Jai (Jay Chou) dan
pangeran Yu (Qin Junjie). Kaisar dan permaisuri tidaklah akur. Di satu sisi,
kaisar berusaha meracuni permaisuri lewat racun yang disusupkan pada obat yang
rutin diminum permaisuri. Di sisi lain, permaisuri pun berupaya untuk mengudeta
kaisar lewat sang anak kedua, pangeran Jai. Intrik ini meluas keluar wilayah
keluarga ini setelah mengetahui bahwa ada affair
antara pangeran Wan dengan anak dari dokter kerajaan yakni Jiang Chan (Li Man).
Problem ini semakin kompleks setelah diketahui ada pertautan romantika antara
ibu dari Jiang Chan, dengan sang kaisar di masa lalunya.
Film ini meski didominasi oleh
dialog dan tidak banyak adegan kungfu yang khas muncul di film-film Cina, namun
kita bisa dibuat duduk bertahan dari awal hingga akhir. Hal tersebut tidak
lepas dari kekuatan akting Chow Yun Fat dan Gong Li. Disamping itu, warna-warni
yang dibentangkan oleh film juga membuat mata dimanjakan (ini terjadi sedari
pembuka film ketika ratusan dayang kerajaan bersalin pakaian). Adegan kolosal
berupa perang besar antara tentara kaisar versus tentara permaisuri di
menjelang akhir film juga –meski tidak seberapa dramatis tapi tetap- memberikan
kesan tersendiri. Jangan lupa, yang menjadi kekuatan Curse of The Golden Flower tentu saja kenyataan bahwa di balik citra
kerajaan yang tenang dan tanpa konflik, terdapat intrik yang begitu mendidih
dan siap meletus di waktu yang tepat. Jika bicara jalan cerita, film berdurasi
114 menit ini memang jempolan. Tapi jika yang diniatkan sutradara adalah
ke-kolosal-an, maka Curse of The Golden
Flower ini menyajikannya terlalu banyak. Ibarat martabak manis yang terlalu
melimpah susu dan kejunya.
Rekomendasi : Bintang Tiga Setengah
Comments
Post a Comment