Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2011

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Moralitas Khidhr

Sebelum memulai suatu pembahasan tentang moralitas Khidhr, alangkah baiknya untuk bersabar sejenak membaca tulisan panjang di bawah ini yang diambil dari Al-Qur'an surat Al-Kahfi. Isinya tentang percakapan antara Musa dan Khidhr. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami 886. (QS. 18:65) Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu" (QS. 18:66) Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. (QS. 18:67) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu" (QS. 18:68) Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (QS. 18:69) Dia b

Invasi Keroncong lewat Garasi Rumah

Malam minggu itu, garasi rumah di jalan Rebana nomor sepuluh atau biasa disebut dengan Garasi 10 dibuka lebar-lebar. Publik boleh datang sesuka hati, menikmati sajian yang akan digelar. Gelaran di Garasi 10 tersebut adalah bagian dari acara rutin yang bertajuk Munggah. Sesuai namanya, memang acara itu ditujukan untuk menyambut Ramadhan. Latar "panggung" dibuat unik, dengan juntaian kertas di langit-langit dan manusia telanjang tergantung, terbuat dari kertas juga. Di kiri kanan ada pajangan gambar yang dipigura. Di belakang "panggung" dipajang rak buku. Di dalam garasi itu, bukan mobil yang hendak dipanggungkan, melainkan orkes keroncong, namanya Jempol Jenthik. Orkes Keroncong Jempol Jenthik (Inggris disingkat menjadi: JJOK) berformasikan tujuh pemain instrumen dan tiga vokal. Instrumen itu terdiri dari kontrabas, cello, cak, cuk, flute, biola, dan gitar. Yang menarik, seluruh personil mengenakan kaos yang sama, berwarna hitam bertuliskan: " Play Keronc

Museum

Hari Sabtu tanggal 9 Juli kemarin, tanpa tedeng aling-aling saya merasa harus pergi ke museum. Tidak ada yang mengajak, tidak ada yang menyuruh. Hanya ingin. Saya membuat daftar museum yang akan dikunjungi, tapi apa daya yang terealisasi cuma Museum Geologi. Yang saya rasakan adalah, saya pernah berkali-kali ke museum, tapi selalu beramai bersama acara sekolahan. Tidak pernah datang sendirian dalam kondisi sadar dan jauh dari euforia. Dalam kondisi merenung dan sendiri, melihat segalanya secara lebih holistik. Di Museum Geologi, pengunjung sangat sepi jika dibandingkan mal-mal yang biasa kamu kunjungi. Padahal museum ini gratis. Saya langsung masuk ke sayap kanan, bagian sejarah alam semesta. Saya pandangi satu per satu display yang ada. Di sana ditunjukkan gambar dan tulisan mengenai proses pembentukan bumi pada mulanya. Hitungannya bukan puluhan atau ratusan tahun lagi, tapi ratusan juta tahun. Mulai dari awalnya ia sebagai bola panas, sampai terbentuk daratan dan lautan, munculnya

Rasa Sakit

  "Rasa sakit membuat kita dapat melihat kehidupan secara keseluruhan" -Sir Muhammad Iqbal Dalam sejarah, rasa sakit selalu punya tempat. Kaum Epikurean di masa Hellenisme misalnya, menganggap bahwa kebaikan tertinggi adalah menjauhi rasa sakit. Islam sendiri memandang rasa sakit sebagai kiamat sugra atau kiamat kecil, sebuah episode partikular dari grand design bernama kiamat kubra alias kiamat besar. Lompat ke dunia medis, dari waktu ke waktu, yang dipercanggih kemudian adalah bagaimana penyakit bisa sembuh disertai minimalisasi rasa sakit. Sehingga suatu waktu saya berpikir, ketika dunia pengobatan sudah sangat canggih, mungkinkah rasa sakit kelak menjadi sejarah? Menjadi museum rasa sakit? Namun rasa sakit juga adalah elemen penting dalam dunia keagamaan. Yesus adalah simbol rasa sakit, ia melihat rasa sakit sebagai bentuk pengorbanannya dalam menanggung dosa umat manusia. Muhammad ketika awal mula mempunyai pengikut, sering disiksa oleh kaum Quraisy. Ia pun hidup papa