Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2010

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Catatan Galau Seperempat Abad: Untuk KlabKlassik Tercinta

KlabKlassik akan berusia kelima tahun ini, tepatnya 9 Desember. Untuk itu, di usia seperempat abad ini, akan saya ucapkan terima kasih bagi tempat yang selalu membantu memanusiakan saya. KlabKlassik adalah komunitas terbuka yang siapapun boleh ikut. Ia non-profit, ia jauh dari komersil, dan Insya Allah segala uang yang masuk adalah untuk menghidupi perjalanan komunitas itu sendiri. Temanya memang musik klasik, tapi jika menggeluti komunitas ini lebih jauh, ternyata yang saya punguti justru jauh lebih kaya daripada itu. KlabKlassik adalah tempat dimana saya menemukan diri saya sebagai manusia seutuhnya. Utuh dalam artian: Syarif yang tampil sebagai Syarif. Keseharian rutinitas yang cenderung materialistik sukses menjauhkan manusia dari totalitas dirinya sendiri. Waktu diukur dengan uang, keringat diukur dengan uang, bahkan tidur pun diukur dengan uang. Seketika kala kegiatan nongkrong bersama klab mau dengan tulus dijalani, ternyata ketahuan juga bahwa ada sesungguhnya dalam hidup ini,

Sepakbola Menyelamatkanku dari Alienasi

Foto diambil dari sini Dalam tulisan ini, saya akan membela sepakbola habis-habisan. Karena semata-mata saya suka sepakbola, dan tak peduli dibilang fanatisme buta. Persoalan apakah subjektivitas saya ini nantinya jadi hal yang objektif adalah sesuatu yang patut disyukuri. Alienasi adalah istilah lama yang susah-susah gampang untuk dipahami. Paling sering kata alienasi diletupkan dalam pemikiran Marx tentang pekerjaan kaum buruh. Bahwasanya kala buruh dipekerjakan dalam mekanisme kapitalistik yang menekankan jam kerja dan rutinitas, maka ia akan terasing dari dirinya. Terasing dari dirinya sebagai produsen. Bagaimanapun juga, buruh adalah tangan langsung yang membentuk benda hasil produksi, tapi pemilik modal merenggutnya, dan menjadikan buruh terasing dari produk buatan yang harusnya amat lekat dengan dirinya. Buruh juga terasing dari kegiatan kerja itu sendiri. Kegiatan kerja yang mestinya alamiah dan hakiki bagi setiap manusia, diubah persepsi oleh para pemilik modal menjadi kerja-u

Travelling Without Moving

1. Harimau berkedut. Lehernya bagai ular sedang girang. Kuning, merah, dan hijau muda. Latar hitam sehingga warna semakin memancar. Ia menari, semua menari. Girang semua dalam balutan melodi. Melodi dari mana? Melodi dari mana? Sesungguhnya ia fana. Datang dari alam-entah-darimana. 2. Bali masa SMA. Pantai pekat malam. Bintang jatuh ke cakrawala. Ayo raih-ayo raih. Duduk aku bersama guru pembimbing. Itu teras kamar hotel. Kupegang gitar nilon dan mainkan karya Beethoven. Kawanku menikmati sebelum ada yang teriak. "Hey, berhentilah bermain, kami sedang tidur." Atau-atau, ia mau berkata, "Huey, be-be-rhentilah, ber-ber-main, ka-kami se-dang ti-ti-dur." Matilah kau jahanam. Kusulap kau jadi lingkaran. Hihihi. 3. Mari kuajak kau ke jaman koboi. Punggung kuda dan pelana, aku duduk di atasnya. Goyang ia liar bagai terluka di tengah rodeo. Lasoku warna ungu. Lasomu warna biru. Oh lihat, kibasan ekor membentuk cahaya. Bagai petasan di malam lebaran. Aku mual juga rindu. Pa

Berkurban dan Mengatasi Tubuh

"Para pendiri agama dunia menyepikan diri, menjadi manusia soliter, mengambil jarak dari desakan 'daging', merenungkan kebenaran (arya satyani) dan 'jalan' (dharma, Tao, Din)." (Sepenggal paragraf dalam handout di ECF Filsafat oleh Alois Agus Nugroho) Dalam Al-Qur'an, ada beberapa ayat yang menerangkan tentang kurban, diantaranya Al-Kautsar ayat 2, Al-Hajj ayat 27-28, 34 dan 36. Meski secara syar'i sudah jelas hukumnya, lalu secara praktis juga sudah jelas gunanya (yakni agar kaum dhuafa bisa merasakan daging yang mungkin bagi mereka langka), namun semoga Allah tidak marah jika ayat-ayatnya diinterpretasi ulang secara filosofis. Karena demikianlah nalar menjadi berguna, dan memang ayat Al-Qur'an seolah membuka ruang interpretasi luas oleh sebab kemultitafsiran bahasanya. Pertama, jika pendiri agama dunia menyepikan diri, soliter, dan mengambil jarak dari desakan 'daging', berarti ada sesuatu yang bermasalah dengan kebertubuhan manusia. Mar

Yang Maha Pemurah

1. Koruptor mencuri uang rakyat, pergi mereka ke Yunani lalu Turki. Pulang dari sana keluarganya sehat, makan sate tetap terasa enak. 2. Maka nikmat Tuhan kamu yang mana yang engkau dustakan? 3. Pejabat memperoleh gelar akademik dengan menyuap. Tapi kemudian masih dihargai di masyarakat. Masih pula berangkat ke Baitullah dengan undangan-Nya. 4. Seorang guru mengajar dengan gaji tak banyak. Berjalan kaki ia belasan kilometer agar mencapai sekolah tanpa atap. Tapi tengok bening matanya kala menatap anak-anak. 5. Maka nikmat Tuhan kamu yang mana yang engkau dustakan? 6. Seorang atheis meragukan Tuhan. Menyerang-Nya tanpa ampun dalam simposium-simposium filsafat. Di tengah jalan ia ditabrak, namun hanya mobilnya yang hancur. Ia masih selamat. 7. Maka nikmat Tuhan kamu yang mana yang engkau dustakan? 8. Seorang alim mati cepat-cepat. Di masa muda ketika ia rajin mengaji dan shalat. Namun ia tersenyum sejenak sebelum jadi mayat. Karena katanya, Tuhan rindu dan ingin memeluknya erat. 9. Merap