Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Setelah Norwegian Wood , saya langsung ketagihan membaca karya Haruki Murakami yang lain. 1Q84 pun menjadi destinasi saya berikutnya. Novel ini diselesaikan dengan susah payah dalam kurun waktu nyaris tiga bulan. Bukan karena Murakami bercerita dengan gaya yang lambat dan membosankan -sebaliknya, ia menulis dengan lincah dan atraktif seperti biasanya-, melainkan disebabkan oleh kesibukan saya yang sedang padat-padatnya -ah, soal kesibukan harusnya tak perlu diceritakan-. 1Q84 sedikit lebih tebal dari Norwegian Wood . Dirilis pada tahun 2009 dan 2010, 1Q84 yang mempunyai tebal 500-an halaman ini dibagi ke dalam tiga edisi. Kebetulan yang saya baca barulah edisi pertamanya. Ceritanya, seperti biasa seorang Murakami mengambil sebuah tema, adalah soal absurditas, nihilisme, dan eksistensialisme. Tidak ada suatu kejelasan arah, pun tidak ada suatu makna yang dapat dikatakan mencerahkan. Ini adalah kisah yang berpusat pada dua orang yakni Aomame dan Tengo. Keduanya menjalani keh