(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Setelah Norwegian Wood , saya langsung ketagihan membaca karya Haruki Murakami yang lain. 1Q84 pun menjadi destinasi saya berikutnya. Novel ini diselesaikan dengan susah payah dalam kurun waktu nyaris tiga bulan. Bukan karena Murakami bercerita dengan gaya yang lambat dan membosankan -sebaliknya, ia menulis dengan lincah dan atraktif seperti biasanya-, melainkan disebabkan oleh kesibukan saya yang sedang padat-padatnya -ah, soal kesibukan harusnya tak perlu diceritakan-. 1Q84 sedikit lebih tebal dari Norwegian Wood . Dirilis pada tahun 2009 dan 2010, 1Q84 yang mempunyai tebal 500-an halaman ini dibagi ke dalam tiga edisi. Kebetulan yang saya baca barulah edisi pertamanya. Ceritanya, seperti biasa seorang Murakami mengambil sebuah tema, adalah soal absurditas, nihilisme, dan eksistensialisme. Tidak ada suatu kejelasan arah, pun tidak ada suatu makna yang dapat dikatakan mencerahkan. Ini adalah kisah yang berpusat pada dua orang yakni Aomame dan Tengo. Keduanya menjalani keh