Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Pernah ada suatu keinginan, agar kegiatan yang saya lakukan punya efek baik bagi sebanyak mungkin orang. Makin banyak yang hadir dan mengapresiasi, artinya makin berhasil cita-cita. Namun pemikiran yang demikian semakin luntur perlahan oleh sebab beberapa hal yang sebetulnya sepele. Misalnya di TVOne kemarin -diskusi Jakarta Lawyers Club-, saya melihat kelompok FPI begitu dominan, banyak, dan berkeyakinan tinggi. Bahkan secara kuantitas saya yakin mereka lebih banyak lagi di luar sana. Secara utilitarian, tentu saja ini menunjukkan Habib Rizieq lebih sukses daripada saya. Saya, apa yang saya lakukan? Mengurus komunitas musik klasik namanya KlabKlassik, aktif juga di Klab Filsafat Tobucil dan sekarang tengah getol mengelola garasi rumah sendiri untuk dipakai kegiatan seni, budaya, dan filsafat, namanya Garasi10. Giat, bolehlah, tapi jika dibanding FPI misalnya, secara kuantitas saya harus gigit jari. Setiap menyelenggarakan satu kegiatan, paling banyak lima belas orang yang hadir.