Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Pernah ada suatu keinginan, agar kegiatan yang saya lakukan punya efek baik bagi sebanyak mungkin orang. Makin banyak yang hadir dan mengapresiasi, artinya makin berhasil cita-cita. Namun pemikiran yang demikian semakin luntur perlahan oleh sebab beberapa hal yang sebetulnya sepele. Misalnya di TVOne kemarin -diskusi Jakarta Lawyers Club-, saya melihat kelompok FPI begitu dominan, banyak, dan berkeyakinan tinggi. Bahkan secara kuantitas saya yakin mereka lebih banyak lagi di luar sana. Secara utilitarian, tentu saja ini menunjukkan Habib Rizieq lebih sukses daripada saya. Saya, apa yang saya lakukan? Mengurus komunitas musik klasik namanya KlabKlassik, aktif juga di Klab Filsafat Tobucil dan sekarang tengah getol mengelola garasi rumah sendiri untuk dipakai kegiatan seni, budaya, dan filsafat, namanya Garasi10. Giat, bolehlah, tapi jika dibanding FPI misalnya, secara kuantitas saya harus gigit jari. Setiap menyelenggarakan satu kegiatan, paling banyak lima belas orang yang hadir.