Skip to main content

Posts

Showing posts from 2021

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Dan Bandung ...

Awal bulan Desember 2021, saya mendapat kabar bahwa istri mesti bekerja di Jakarta, daerah Kelapa Gading. Berita yang mengejutkan, karena wawancara kerjanya sendiri dilakukan di Bandung dan kami mengira akan ditempatkan di Bandung (jika lolos). Ternyata, istri mesti menjalani pelatihan di Jakarta selama tiga bulan dan jika berhasil melewatinya, minimal mesti setahun bekerja di Jakarta, sebelum (mungkin) dipindahkan ke Bandung. Memang, ini "cuma" Jakarta, yang jaraknya hanya sekitar 120 kilometer dari Bandung, yang jika tidak macet, bisa dicapai dalam waktu dua setengah jam saja. Namun bagi saya, yang seumur hidup tidak pernah tinggal lama di luar kota, kepindahan ini agak mengagetkan dan pada titik tertentu, menimbulkan kegalauan yang lumayan.  Saya bahkan tidak berpikiran sama sekali untuk pergi dari Bandung. Atau, kalaupun pergi, tidak untuk tinggal, melainkan hanya sebentar-sebentar saja berkunjung ke tempat lain, dan Bandung tetaplah rumah, tempat pulang. Namun di sisi la

Mengunjungi Hidup Derrida

Sekitar awal menuju pertengahan tahun 2021, saya dikontak oleh seorang kawan, praktisi sekaligus pemikir Buddhisme, Stanley Khu, dan diminta untuk menerjemahkan buku biografi Jacques Derrida. Tentu saja saya menyambut baik tawaran ini, terutama setelah selesai menerjemahkan Logika Sensasi -nya Gilles Deleuze, yang membuat saya agak ketagihan bergelut dengan alam pemikiran filsuf Prancis. Proses penerjemahan Deleuze sangat rumit, butuh dua tahun untuk menyelesaikannya dan sangat dibantu oleh editor yang juga kurator seni rupa, Dwihandono Ahmad, yang menolong saya untuk memahami istilah-istilah dalam seni lukis (termasuk memperbaiki hasil terjemahan yang berantakan). Oh ya, Logika Sensasi kemungkinan baru akan terbit bulan Maret atau April 2022.  Meski lebih ringan ketimbang tulisan Deleuze, buku Derrida: A Biography (2012) yang ditulis oleh Benoit Peeters tetaplah menantang. Terdiri dari sekitar 600-an halaman, buku ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu Jackie , Derrida dan Jacques De

Rocco, Antara Eros dan Agape

Di suatu malam, saat sedang memilih-milih film apa yang akan ditonton di Netflix, tiba-tiba saya tertarik pada film dokumenter berjudul Rocco (2016). Tentu saja saya tidak pura-pura tidak tahu tentang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut. Rocco Siffredi adalah bintang film porno asal Italia yang aktif sejak tahun 1987 dan tampil pada sekitar 1300 film. Apakah saya menonton film-filmnya? Jelas, apalagi salah satu yang paling fenomenal dan sudah saya ketahui sejak SMA: Tarzan X .  Film dokumenter yang disutradarai oleh Thierry Demaizière dan Alban Teurlai tersebut bercerita tentang perjalanan Rocco di industri film porno. Rocco sebenarnya sempat mengumumkan pengunduran dirinya tahun 2004, tetapi ia kembali lagi tahun 2009, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti permanen dari bermain film porno pada tahun 2015, di usia sekitar 51 tahun. Dalam film Rocco , meski terdapat beberapa adegan film porno yang dikaburkan, fokusnya lebih ditujukan pada pergulatan batin Rocco, yang bertega

Kata Carolyn Korsmeyer tentang Estetika

Berkat Mbak Ikhaputri Widiantini, dosen filsafat Universitas Indonesia, saya jadi mengenal pemikir bernama Carolyn Korsmeyer yang bagi saya, menawarkan sudut pandang yang berbeda tentang estetika. Keterlibatan saya dengan gagasan Korsmeyer dipicu oleh undangan dari forum LogosFest untuk mempresentasikan topik tentang keadilan dan kesetaraan gender dalam seni - topik yang sebelum-sebelumnya kurang akrab bagi saya, tetapi kemudian digeluti juga seiring waktu, terutama dalam setahun belakangan. Pandangannya tentang estetika dituangkan Korsmeyer dalam buku yang berjudul Gender and Aesthetics: an introduction (2004). Sejumlah poin yang dirasa menarik akan dituangkan dalam tulisan ini. Korsmeyer menjabarkan terlebih dahulu definisi keindahan yang ditarik dari abad ke-18, terutama mengacu pada pandangan Edmund Burke (1727 - 1797) dan Immanuel Kant (1724 - 1804). Burke mengatakan bahwa keindahan suatu objek ditarik dari ekstrapolasi tubuh perempuan, terutama dari bagian dada dan leher (2004:

Hacksaw Ridge dan Kosmopolitanisme

Hampir di waktu bersamaan saat saya menonton Hacksaw Ridge (2016) di Netflix, saya juga tengah menyiapkan materi presentasi tentang kosmopolitanisme-nya Kwame Anthony Appiah untuk Kelas Isolasi. Sekilas, kedua hal ini tidak berkaitan sama sekali - Hacksaw Ridge bercerita tentang prajurit Kristen yang taat bernama Desmond Doss, sementara kosmopolitanisme adalah gagasan hidup bersama dalam dunia yang penuh perbedaan. Namun ternyata, melalui Hacksaw Ridge , saya bisa dengan cepat memahami gagasan Appiah dalam teksnya yang berjudul Ethics in a World of Strangers (2006).  Hacksaw Ridge berkisah tentang prajurit yang ingin terjun di medan Perang Dunia II bersama Amerika, tetapi karena dogma Kristen-nya, Doss enggan memegang senjata dan membunuh siapapun. Ia hanya ingin menjadi medis di medan pertempuran. Niatnya ini menjadi bahan celaan teman-teman dan juga komandannya. Mereka menganggap Doss mengada-ada: mana mungkin tidak membunuh di medan perang? Setelah melalui serangkaian prosedur y

Egoisme dan Altruisme dalam Seni Rupa

(Hasil diskusi dengan Dwihandono Ahmad yang dituliskan sebagai suplemen kelas Egoisme dan Altruisme dalam Seni Rupa yang diselenggarakan oleh NuArt Sculpture Park bersama Rakarsa Foundation, Sabtu, 25 September 2021)   Egoisme dan Altruisme Egoisme dan altruisme merupakan konsep yang sering dipertentangkan dalam koridor etika normatif. Sebelum masuk ke dalam pembahasan berkenaan dengan egoisme dan altruisme, penting kiranya untuk mengulas tentang apa itu etika normatif. Etika normatif ini adalah cabang pembahasan dari etika atau filsafat moral. Selain etika normatif, ada juga meta-etika dan etika terapan. Masing-masingnya dapat dijelaskan dalam uraian singkat berikut ini: Meta-etika adalah cabang kajian etika yang membahas terkait hakikat dari kata “baik”, “wajib”, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa meta-etika membahas suatu struktur di balik pembahasan mengenai etika. Contoh dalam pernyataan sehari-hari: “Kita terus-terusan membahas apa yang baik, tetapi kata ‘baik’ itu sendiri seb

Kata Georg Simmel tentang Sifat yang Hanya Muncul Akibat Uang

Georg Simmel adalah sosiolog asal Jerman yang terkenal salah satunya karena menulis buku berjudul The Philosophy of Money (1900). Di dalam buku yang tebalnya kira-kira enam ratusan halaman tersebut, Simmel menuliskan pandangannya mengenai uang dari sudut pandang filsafat, psikologi dan sosiologi. Menariknya, Simmel tidak terlalu membahasnya dari sisi ekonomi ataupun memandangnya secara kritis seperti Marx. Secara garis besar, Simmel malah terkesan pesimistik: menunjukkan bahwa kita tidak mungkin lepas dari uang dan bahkan semakin canggih perkembangan akal budi manusia, justru makin menerima macam-macam uang yang tidak rasional!  Sebagai contoh, pada mulanya, uang merupakan sertifikat yang merepresentasikan cadangan logam mulia di suatu wilayah. Namun lama-kelamaan, hubungan uang dengan apa yang direpresentasikannya ini diputus dan nilai uang menjadi dijamin hanya oleh otoritas. Artinya, hanya kepercayaan pada otoritas saja yang membuat uang menjadi bernilai dan bagi Simmel, ini justru

Nomaden

Saya tengah merenungkan untuk menjalani hidup yang nomaden (meski saat ini bisa dikatakan sudah). Artinya, hidup menetap tidak lagi saya jadikan cita-cita. Meski belum membacanya secara tuntas, tetapi saya cukup terkaget saat topik nomaden ini ternyata dibahas oleh filsuf Masa Keemasan Islam, Ibn Khaldun dan filsuf posmodern, Zygmunt Bauman. Ibn Khaldun memberi contoh Suku Badui sebagai suku yang menerapkan prinsip hidup nomaden. Sebagai konsekuensi dari prinsip nomadennya tersebut, Suku Badui, dalam pandangan Ibn Khaldun, dianggap sebagai kelompok yang kemungkinan tidak terikat dengan kemewahan dan perilaku buruk. Sementara itu, Bauman menyebutkannya dalam konteks "modernitas cair" yang ditunjukkan dengan identitas orang yang kian nomaden: bergerak dari satu label ke label yang lain. Namun sekali lagi, saya belum tuntas membacanya sehingga lebih baik jika dalam tulisan ini, saya mengungkapkan apa yang saya pikirkan dan rasakan saja terkait nomaden dan nomad-isme.  Ada masa-m

Anarkisme dan Kristianitas Menurut Jacques Ellul

  Jacques Ellul (1912 – 1994) adalah pemikir Prancis yang banyak memfokuskan gagasannya pada teknologi, media dan anarkisme. Sebagai seorang Kristiani, ia kerap mendasarkan berbagai argumennya pada Alkitab, termasuk yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu terkait anarkisme. Dalam bukunya yang berjudul Anarchism and Christianity , Ellul mengurai bahwa anarkisme tidak hanya kompatibel dengan Kristianitas melainkan lebih dari itu, di dalam Kristianitas, sudah terkandung secara inheren gagasan-gagasan anarkisme.  Anarkisme, singkatnya, adalah aliran pemikiran yang menghendaki penghapusan otoritas dan hierarki. Dalam mencapai tujuannya tersebut, para pemikir anarkisme punya pandangan yang berbeda-beda. Ellul sendiri memilih untuk setia pada jalur non-kekerasan sebagai jalur yang dianggap sejalan dengan ajaran Yesus. 1 Koheren dengan pandangan anti-otoritas dan anti-hierarki-nya anarkisme, Ellul dengan tegas menolak partisipasi politik dalam bentuk apapun. 2 Namun ia sendiri menegaskan ba

Joseph Beuys dan Antroposofi

  Ditulis sebagai suplemen dalam rangka peringatan 100 tahun Joseph Beuys, 13 November 2021. Konsep “trauma” merupakan kata kunci yang penting dalam memahami karya-karya Joseph Beuys (1921 – 1986). Trauma tersebut berangkat dari kejadian pada tahun 1944, saat Beuys masih menjadi pilot angkatan udara Nazi yaitu Luftwaffe . Pesawat tukik “ Stuka ” yang dikemudikannya mengalami kecelakaan di wilayah Krimea dan jatuh di tengah orang-orang Tatar. Meski secara administratif merupakan bagian dari Uni Soviet, orang-orang Tatar ini tidak tertarik untuk menghabisi Beuys yang notabene adalah musuh negara. Badan si pilot yang luka malah dibungkus dengan lemak hewan dan kain felt hingga akhirnya membaik.  Namun cerita tersebut dianggap sebagai karangan Beuys yang tidak bisa dibuktikan. Pasukan Jerman lainnya tidak menemukan orang-orang Tatar di lokasi tempat jatuhnya pesawat Beuys. Bagi Beuys, siapa yang benar-benar menyelamatkannya tidaklah penting, karena dalam reinterpretasi memorinya, orang-ora

Moderator

Jika dihitung-hitung, saya lebih sering menjadi moderator ketimbang pembicara di dunia perdiskusian. Peran moderator ini sebenarnya sudah saya lakoni sejak mengurus komunitas Madrasah Falsafah yang berdiri sekitar tahun 2007. Waktu itu, sebelum saya dipercaya sepenuhnya untuk menjadi koordinator Madrasah Falsafah, saya terlebih dahulu mengamati peran moderator yang dijalankan oleh Rosihan Fahmi yang menurut saya justru lebih sentral dari peran pembicara. Di Madrasah Falsafah yang memegang prinsip dialog Sokrates, tidak ada yang benar-benar dinamakan narasumber secara khusus karena semua peserta diskusi diplot sekaligus sebagai pembicara. Moderator justru bertugas memancing para peserta agar bisa memberikan pandangan terhadap suatu topik yang bisa jadi sangat sederhana seperti misalnya tentang "sahabat" atau tentang "pagar". Kalaupun ada yang dinamakan "narasumber", maka istilah yang disematkannya adalah "pemasalah" karena tugasnya bukan menerangk

Thoreau di Walden

Henry David Thoreau merupakan pemikir Amerika yang menjadi bagian dari gerakan “Pemikiran Baru” ( New Thought ) bernama transendentalisme yang dimulai awal abad ke-19 sebagai usaha pencarian spiritual yang lepas dari agama-agama yang sudah “mapan”. William James menyebutnya sebagai “ the religion of healthy-mindedness ”. Prinsip dasar transendentalisme adalah mandiri dan independen. Kebaikan dan kemurnian ada secara inheren di dalam diri setiap orang yang sejalan dengan alam, tidak boleh ditekan oleh masyarakat atau institusi manapun. Terkait keselarasan dengan alam, Ralph Waldo Emerson sebagai salah satu pendiri transendentalisme menegaskannya dalam Nature : “ In the woods, we return to reason and faith. There I feel that nothing can befall me in life, — no disgrace, no calamity, (leaving me my eyes,) which nature cannot repair. Standing on the bare ground, — my head bathed by the blithe air, and uplifted into infinite space, — all mean egotism vanishes. I become a transparent eye-b