Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Jaraknya sudah dua bulan dari pertama buku berjudul Kumpulan Kalimat Demotivasi , dengan tulisan di blog ini. Saya baru sempat menuliskannya, karena "terganggu" proses jual beli buku yang cukup sibuk dan juga beberapa acara bedah buku (yang sudah dan akan berlangsung). Memang sudah sejak akhir tahun 2019, saya mulai meletupkan ide-ide tentang demotivasi, baik lewat media sosial maupun obrolan-obrolan ringan dalam konteks diskusi santai. Setelah menuliskan dan menerbitkannya ke Buruan and Co. (setelah sempat di-PHP oleh Mizan), saya merasa respons terhadap buku ini cukup baik. Penjualannya lebih baik dari buku-buku yang pernah saya tulis dan itu berlangsung dalam waktu relatif singkat. Tawaran diskusi dan bedah buku pun bermunculan - disertai review buku yang juga cukup ramai -, yang membuat saya berpikir bahwa Kumpulan Kalimat Demotivasi mungkin punya sesuatu yang "baru" untuk ditawarkan (pakai tanda kutip karena saya malu menyebut kata baru, dengan kenyataan ba