Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2021

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia

Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia (Tulisan kuratorial untuk pameran fotografi virtual Barmen Simatupang) Hal menarik dari perkotaan mungkin adalah ini: apapun yang kita katakan sebagai esensi sebuah kota, hal sebaliknya juga adalah benar. Artinya, kota bisa jadi adalah sesuatu yang tanpa esensi atau esensi dari perkotaan adalah serba paradoksnya. Jika kita katakan Jakarta sebagai kota yang megah dengan segala gedung tingginya, maka di waktu yang bersamaan, Jakarta juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kumuh dengan segala bangunan rentan semi-permanen. Jika kita katakan Bandung sebagai kota yang cantik dengan segala taman kota dan citra Paris van Java-nya, Bandung juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kian sesak tanpa diimbangi oleh penambahan infrastruktur. Demikian halnya dalam konteks fotografi jalanan (perkotaan) yang dilakukan oleh Barmen Simatupang di Wellington, Selandia Baru. Dari foto ke foto, perasaan kita akan bercampur adu

Utilitarianisme

(Ditulis sebagai suplemen untuk Kelas Santai Menelusuri Kepentingan Diri, 5 Mei 2021) Pembahasan tentang utilitarianisme memang harus menyinggung pemikir asal Inggris, John Stuart Mill (1806 – 1873). Dalam buku berjudul Utilitarianism (1863), ia merumuskan dengan cukup rinci pandangan moral utilitarianisme yang berlandaskan pada prinsip kegunaan. Sebelum Mill, sebenarnya sudah ada Jeremy Bentham (1748 – 1832) yang meletakkan prinsip dasar utilitarianisme dalam buku berjudul An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Menurut Bentham, utilitarianisme adalah “kebahagiaan sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin” (“ the greatest happiness for the greatest number ”). Saat ditanya, kebahagiaan semacam apa yang dimaksud? Bentham menjawabnya dengan argumen hedonisme: mendekati rasa nikmat ( pleasure ) dan menjauhi rasa sakit ( pain ). Sampai titik itu, kelihatannya Bentham sudah cukup kokoh dalam merumuskan utilitarianisme, sampai kemudian ia bergerak lebih ja

Merkantilisme

(Ditulis sebagai suplemen untuk Kelas Santai Menelusuri Kepentingan Diri, 21 April 2021)   Merkantilisme adalah paham tentang nasionalisme ekonomi yang berkepentingan membangun negara yang kuat dan sejahtera. Sistem ini umumnya mendominasi pemikiran dan kebijakan di Eropa Barat dari mulai abad ke-16 hingga akhir abad ke-18. Tujuan dari aliran pemikiran ini adalah untuk mendapatkan keuntungan berlimpah dari transaksi ekspor - impor yang berujung pada kesejahteraan domestik. Transaksi tersebut, contohnya, adalah berupa impor bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi dan dijual kembali sehingga negara mendapatkan surplus. Contoh dari penerapan pemikiran merkantilisme ini adalah keberadaan British East India Company atau EIC (1600 – 1874) dan Dutch East India Company atau VOC (1602 – 1799) yang berdagang dengan cara ekspansi ke banyak negara (untuk mendapatkan bahan mentah). Meski berstatus sebagai perusahaan dagang, mereka didukung penuh oleh negara dan bahkan diberi senjata. Pada per

Pandemi dan Demotivasi

Pandemi dan Demotivasi (Dimuat di majalah Gita Sang Surya vol. 16, No. 2, Maret - April 2021) Setahun lebih pandemi Covid-19 berada di negeri kita dan belum juga ada tanda-tanda perbaikan keadaan. Bayangan kita bahwa pandemi akan berakhir di tahun 2021 ternyata tidak terbukti. Kita akhirnya menyadari bahwa virus memahami ruang dan waktu dengan cara yang berbeda sehingga bagi mereka, pergantian tahun tidak harus sama dengan pergantian keadaan. Bahkan sekarang ini, meski vaksin sudah tersedia, tetap sukar diperkirakan kapan pandemi ini benar-benar usai dan bahkan kita dihantui kemungkinan bahwa pandemi masih akan berlangsung hingga tahun-tahun ke depan. Kehancuran yang terjadi akibat pandemi ini tidak hanya menyerang wilayah kesehatan, melainkan juga hampir di segala bidang termasuk pendidikan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Berbagai harapan dan optimisme yang tadinya mampu memberi napas panjang di tengah kehidupan yang serba sulit ini, ternyata tidak membuahkan hasil sehingga orang mu

Menimbang Tawaran Ekologi Radikal Pentti Linkola

MENIMBANG TAWARAN EKOLOGI RADIKAL PENTTI LINKOLA (Artikel untuk serial webinar Ecophilosophy, 12 Juni 2021 bertema Pendekatan Radikal untuk Krisis Lingkungan) Membaca tulisan Pentti Linkola dalam Can Life Prevail? (2011) menimbulkan suatu perasaan yang seperti terombang-ambing. Di satu sisi, kita disuguhi oleh gambaran indah terkait lanskap suasana pedesaan di Finlandia, tetapi di sisi lain, kita diajak untuk memasuki alam pikirannya yang radikal dan penuh kemarahan. Linkola mencintai alam, tetapi bukan mencintai dengan jargon klise seperti: “Ayo kita pelihara lingkungan demi anak cucu kita.” Pandangan semacam itu, bagi Linkola, masih dikotori oleh kepentingan manusia sebagai pusat. Bagi Linkola, manusia hanyalah salah satu spesies yang ada di bumi ini, dan ia tidak lebih tinggi dari spesies lain yang juga hidup bersama kita. Menghabiskan hampir seluruh hidupnya di pedesaan, Linkola melihat bagaimana alam terus menerus mengalami degradasi akibat ulah manusia. Pertanyaannya:

Sisifus di Ijen

Sisifus di Ijen (Tulisan kuratorial untuk pameran fotografi virtual Barmen Simatupang) Ada pertanyaan yang kerap mengusik ketika saya mengunjungi suatu tempat, di manapun itu: manakah aspek yang paling representatif dari suatu tempat, sehingga saya sudah dapat dikatakan “pernah ke tempat itu”? Kalau kita ke Singapura misalnya, orang akan dengan mudah mengatakan: “Berkunjung ke Singapura tidak lengkap jika belum mengunjungi dan berfoto di Merlion.” Demikian halnya dengan ke Jakarta, mungkin kita dianggap sudah kesana jika sudah mengunjungi Monas. Namun bisa dikatakan, bahwa representasi dari suatu tempat biasanya berhubungan dengan ikon yang dikonstruksi sedemikian rupa agar memang “layak” untuk menjadi representasi. Representasi sebuah tempat seolah jangan dibiarkan untuk tampil apa adanya karena khawatir liar, banal, dan malah jadinya “kurang representatif”. Kelihatannya apa yang menjadi kekhawatiran saya tersebut, adalah juga yang mengusik Barmen Simatupang saat melihat citra

Memasak dan Memori Tubuh

MEMASAK DAN MEMORI TUBUH Dalam beberapa bulan terakhir, saya intens belajar masak. Alasannya apa? Hanya ingin mencoba saja. Semacam ingin memasuki area lain dalam kehidupan. Kebetulan memang apartemen yang saya tinggali lokasinya sangat dekat dengan pasar. Di pasar, bahan-bahan untuk memasak tidak hanya relatif lengkap, tetapi juga murah. Hampir setiap hari saya mencoba menu-menu baru yang dipelajari dari Youtube, mulai dari masakan keren-kerenan (Jepang, Eropa) sampai yang rumahan. Dari sekian menu yang saya masak, yang membanggakan (sejauh ini) justru yang rumahan itu. Saya mulai bisa memasak perkedel kentang, perkedel jagung, sambal goreng kentang, tempe bacem, sampai tongkol balado. Apa renungan yang saya dapat dari masak memasak ini? Khususnya tentang masakan rumahan, saya tiba-tiba ingat banyak adegan di masa kecil hingga remaja. Percakapan yang saya dengar setiap pagi antara bibi, tante, ataupun mamah, beberapa di antaranya adalah seputar resep dan teknik memasak. Pada masa