Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia (Tulisan kuratorial untuk pameran fotografi virtual Barmen Simatupang) Hal menarik dari perkotaan mungkin adalah ini: apapun yang kita katakan sebagai esensi sebuah kota, hal sebaliknya juga adalah benar. Artinya, kota bisa jadi adalah sesuatu yang tanpa esensi atau esensi dari perkotaan adalah serba paradoksnya. Jika kita katakan Jakarta sebagai kota yang megah dengan segala gedung tingginya, maka di waktu yang bersamaan, Jakarta juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kumuh dengan segala bangunan rentan semi-permanen. Jika kita katakan Bandung sebagai kota yang cantik dengan segala taman kota dan citra Paris van Java-nya, Bandung juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kian sesak tanpa diimbangi oleh penambahan infrastruktur. Demikian halnya dalam konteks fotografi jalanan (perkotaan) yang dilakukan oleh Barmen Simatupang di Wellington, Selandia Baru. Dari foto ke foto, perasaan kita akan bercampur adu