Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia (Tulisan kuratorial untuk pameran fotografi virtual Barmen Simatupang) Hal menarik dari perkotaan mungkin adalah ini: apapun yang kita katakan sebagai esensi sebuah kota, hal sebaliknya juga adalah benar. Artinya, kota bisa jadi adalah sesuatu yang tanpa esensi atau esensi dari perkotaan adalah serba paradoksnya. Jika kita katakan Jakarta sebagai kota yang megah dengan segala gedung tingginya, maka di waktu yang bersamaan, Jakarta juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kumuh dengan segala bangunan rentan semi-permanen. Jika kita katakan Bandung sebagai kota yang cantik dengan segala taman kota dan citra Paris van Java-nya, Bandung juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kian sesak tanpa diimbangi oleh penambahan infrastruktur. Demikian halnya dalam konteks fotografi jalanan (perkotaan) yang dilakukan oleh Barmen Simatupang di Wellington, Selandia Baru. Dari foto ke foto, perasaan kita akan bercampur adu