Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Modernitas adalah soal kepastian. Sains dan teknologi memberikan pelbagai jaminan bahwa jika kita menjalani A maka hasilnya pasti B. Kehidupan manusia berkaitan dengan rencana-rencana ke depan yang sudah dirancang hingga puluhan tahun. Dunia ini, kata Heidegger, oleh sebab segala kepastian tersebut, mulai kehilangan kemistisan. Seperti saya misalnya, sekarang sudah mempunyai pekerjaan tetap sebagai dosen tetap. Di tempat ini, saya mendapat jaminan hingga hari tua dan jaminan kesehatan jika terjadi apa-apa. Apa yang terjadi? Perasaan yang sesungguhnya kontradiktif muncul. Di satu sisi, saya merasa hal tersebut adalah anugerah Tuhan. Di sisi lain, dengan kepastian tersebut, Tuhan justru seperti tak dibutuhkan lagi. Seperti kata Andre Yefimich Ragin dalam Ruang Inap no. 6 , "Jika manusia sudah dapat sembuh oleh pil dan obat, maka kepercayaan mereka pada agama dan filsafat terang akan menurun." Semakin dewasa juga, segala kegiatan menjadi harus punya alasan dan kegunaan. Meng...