Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2010

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Suatu Pagi di STT Tekstil

Jumat pagi, tanggal 19 itu, ada acara yang tidak biasa. Acara yang membuat rutinitas harian sukses dialihkan. Adalah hari pertama saya mengajar di STT Tekstil. Letaknya juga menyenangkan. Selain tak terlalu jauh dari rumah, jalurnya juga berbeda dari biasanya. Sekarang lebih ke arah Timur Bandung, setelah seringkali berkutat dengan wilayah Barat Utara Selatan. Jadinya, memang hari itu saya sangat bersemangat. Suatu momen yang berbeda dalam kubangan rutinitas yang menjemukan, bagaikan lembar berwarna dalam bundelan komik hitam putih. Oh iya, di STT Tekstil tersebut, yang saya ajari bukan tetek bengek soal tekstil. Tapi kenyataan bahwa mereka punya unit kemahasiswaan yang mengurusi gitar klasik dan beranggotakan lebih dari tiga puluh orang, yang Alhamdulillah, mempercayai saya untuk melatihnya. Ini, bagi saya, cukup mencengangkan. Bayangkan, sekolah yang berbasiskan perindustrian, punya minat terhadap gitar klasik yang barangkali paling tinggi ketimbang sekolah manapun di Bandung, bahkan

Ritual Malam

Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan. ... Bapakku bening air kelapa muda. Ibuku sirup merah kental manis buatan sendiri. Aku Bloody Mary. Jumat malam alkoholik, happy hours, Jumat pagi robotik. Kadang aku minum jus tomat, dan merasa sehat. Kadang berseru alhamdulillah, ini hari Jumat -atau Ahad, Rabu, hari apa saja. Kor lepas dengan beberapa temanku di sore-sore hari, seraya aku membayangkan gelas berkaki tinggi dan hijau margarita dan kristal garam berkilau di bibir gelas, seperti sesosok perempuan, datang dari kejauhan. "Halo, Sayang. Udah tidur?" "Hmmmmmh.." "Oke, dilanjutkan ya bacanya." "Hmmmmmh.." Bapak menamaiku Amanita. Nama itu tak datang dari bapakku, tapi pemberian seorang kolega temannya, botanis bangsa Inggris, ketika mereka bertemu pada sebuah konferensi kelautan. Bapakku bilang padanya sebent

Sepakbola

Sejak final sepakbola Piala Eropa 1996 yang mempertemukan Jerman lawan Rep. Ceko, saya mendadak jadi penggemar olahraga tersebut. Saya mulai memilih satu per satu tim favorit, mengetahui lebih jauh perihal peraturan, serta menghapalkan nama-nama pemain. Ternyata, saya suka olahraga ini. Candu, kalau boleh dibilang. Jika musim Piala Dunia atau Piala Eropa, saya begadang nyaris setiap hari. Pernah kala digelar Piala Dunia 1998 di Prancis, ketika kompetisi sedang beristirahat dua hari karena persiapan menuju perdelapanfinal, saya muntah-muntah. Kata orangtua, ini akibat kebanyakan begadang. Kata saya: Bukan, ini karena pertandingan sepakbola sedang rehat. Tak perlu dibahas sejauh mana saya mencintai sepakbola. Yang pasti, jika ada yang namanya kuliah jurusan pengetahuan sepakbola, saya yakin tak perlu perjuangan terlampau keras untuk lulus. Yang mau saya bahas adalah, kenapa olahraga sepakbola begitu menarik? Ini subjektif dan pernyataan yang cukup "kasar" memang. Tapi bisakah m

Nyanyian Cinta di Pagi Hari

Oh, judul yang norak. Tapi saya tak bisa menemukan yang lebih baik. Hari Jumat adalah hari yang menyenangkan selain hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu. Karena salah satunya, hari itu adalah hari yang mana saya pilih untuk libur. Tak ada kegiatan terikat, kecuali tampil reguler di malam harinya. Maka itu saya sengaja bermalas-malasan di pagi harinya. Lama di tempat tidur, atau berjalan keliling kamar. Sekedar berpikir, mencari inspirasi, atau membuat pegal kaki. Sampai tiba-tiba, saya dikagetkan oleh bunyi HP sekitar pukul 08.15. Ah, paling pacar saya. Tapi ternyata bukan. Nomernya tidak dikenal. Lalu saya angkat. "Syarif, kamu dimana?" "Ini siapa?" "Lioni, kamu dimana?" "Lioni mana ya?" "Itu Lioni yang kamu kira Mirna, dulu," "Hah? Di rumah, memang ada apa?" "Rumah kamu dimana?" Saya deg-degan. "Eh, emang kenapa?" "Cepetan. Rebana nomer berapa?" "Nomer sepuluh. Emang kenapa?&qu

Membongkar Dosa Alay

Jika diantara kamu ada yang belum tahu apa itu Alay, maka tidak sulit mencarinya di google . Ketik saja kata tersebut, maka akan keluar berbagai definisi tentangnya. Definisi tersebut, semuanya berbau emosionil dan penuh kerancuan, dan jangan harap menemukan definisi ketat ala KBBI. Tapi jika kamu orang yang peka terhadap fenomena sosial belakangan, tentu tak sulit untuk mengaitkan definisi Alay tersebut dengan realitas keseharian. Meski demikian, saya cukup mendefinisikan Alay terkait dengan gaya penulisannya yang terutama diterapkan pada SMS atau jaringan sosial (jika sudah ada yang menerapkannya pada tulisan tangan, maka beritahu saya, karena itu kronis!).   Gaya penulisan Alay , jauh di luar kaidah baku Bahasa Indonesia, dan relatif sulit dipahami, bagi mereka yang terbiasa dengan standar baku penulisan. Karena, Alay seringkali menyingkat kata secara ekstrim, misal "aku" menjadi "q", ataupun mengubah huruf tertentu menjadi angka, misal "kemana" jadi &

Di Lapang Bulutangkis, Ada Plato dan Aristoteles

Suatu hari Senin, dimana saya dan kawan-kawan bermain bulutangkis setiap jam empat sore, lapangan kedatangan dua orang filsuf terbesar dalam sejarah peradaban Barat. Plato dan Aristoteles. Ya, mereka datang, dan duduk di pinggir lapangan, menyaksikan kami bermain. Sambil bermain, saya mencuri dengar apa yang mereka perbincangkan. Sebetulnya, saya tidak mencuri dengar, karena mereka berbicara sangat keras. Entah dalam bahasa Yunani atau apa, yang pasti, saya memahaminya. Itulah mengapa saya tuliskan disini. Plato : Wahai muridku, pernahkah engkau berpikir, mengapa orang Brasil nyaris semua penduduknya mahir bermain sepakbola? Aristoteles: Tentu saja, karena berlatih, Guru. Plato : Lantas, kau bisa menjawab, mengapa mereka memenangkan Piala Dunia paling banyak? Padahal banyak negara-negara di Eropa, yang juga berlatih keras -mungkin lebih keras-, tapi mereka tetap tidak sekuat Brasil. Aristoteles : Ini jelas, sebuah proses alam. Tidak ada yang kebetulan. Pasti Brasil punya "sebab fo

Nine: Rasakan!

Hari Minggu kemarin, saya dan pacar menonton film Nine di Plaza Senayan. Film itu, saya belum tahu soal apa. Yang pasti, pacar saya sangat ingin menyaksikan Marion Cotillard, aktris idolanya yang turut bermain. Ternyata, ini film drama musikal. Hal yang tak pernah lagi saya tonton sejak Moulin Rouge. Syahdan, ada seorang sutradara bernama Guido Contini (Daniel Day-Lewis). Mengambil latar di Roma tahun 1965, Guido digambarkan sebagai seorang sutradara besar di Italia. Hampir seluruh orang di negeri itu mengenalnya, atau dalam bahasa Lily (Judi Dench), teman sekaligus kru kostumnya, "Tidak ada seorangpun yang lewat disini, tidak tersentuh oleh film-mu." Demikian Guido Guido (saya sengaja menuliskannya dua kali, karena terngiang oleh nama Guido yang sering sekali diucapkan di film itu), yang terjerumus dalam sebuah masalah besar: Ia sedang menghitung mundur satu minggu menuju film terbarunya yang berjudul Italia , dan ia belum menuliskan naskah! Entah apa yang mengganggu Guido G