
Jumat pagi, tanggal 19 itu, ada acara yang tidak biasa. Acara yang membuat rutinitas harian sukses dialihkan. Adalah hari pertama saya mengajar di STT Tekstil. Letaknya juga menyenangkan. Selain tak terlalu jauh dari rumah, jalurnya juga berbeda dari biasanya. Sekarang lebih ke arah Timur Bandung, setelah seringkali berkutat dengan wilayah Barat Utara Selatan. Jadinya, memang hari itu saya sangat bersemangat. Suatu momen yang berbeda dalam kubangan rutinitas yang menjemukan, bagaikan lembar berwarna dalam bundelan komik hitam putih.
Oh iya, di STT Tekstil tersebut, yang saya ajari bukan tetek bengek soal tekstil. Tapi kenyataan bahwa mereka punya unit kemahasiswaan yang mengurusi gitar klasik dan beranggotakan lebih dari tiga puluh orang, yang Alhamdulillah, mempercayai saya untuk melatihnya. Ini, bagi saya, cukup mencengangkan. Bayangkan, sekolah yang berbasiskan perindustrian, punya minat terhadap gitar klasik yang barangkali paling tinggi ketimbang sekolah manapun di Bandung, bahkan sekolah yang punya jurusan musik sekalipun. Ini jelas tantangan yang menggiurkan bagi saya pribadi. Selain mesti berbagi pada mahasiswa yang barangkali lebih akrab dengan bunyi mesin ketimbang musik, saya juga diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan ilmu yang sudah saya dapat selama bergelut di dunia gitar klasik. Ilmu yang saya percayai, hanya berarti kala dibagi. Kala bermanfaat bagi orang lain.
Oh iya, di STT Tekstil tersebut, yang saya ajari bukan tetek bengek soal tekstil. Tapi kenyataan bahwa mereka punya unit kemahasiswaan yang mengurusi gitar klasik dan beranggotakan lebih dari tiga puluh orang, yang Alhamdulillah, mempercayai saya untuk melatihnya. Ini, bagi saya, cukup mencengangkan. Bayangkan, sekolah yang berbasiskan perindustrian, punya minat terhadap gitar klasik yang barangkali paling tinggi ketimbang sekolah manapun di Bandung, bahkan sekolah yang punya jurusan musik sekalipun. Ini jelas tantangan yang menggiurkan bagi saya pribadi. Selain mesti berbagi pada mahasiswa yang barangkali lebih akrab dengan bunyi mesin ketimbang musik, saya juga diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan ilmu yang sudah saya dapat selama bergelut di dunia gitar klasik. Ilmu yang saya percayai, hanya berarti kala dibagi. Kala bermanfaat bagi orang lain.
Dan tibalah saya di pagi itu, pukul sembilan. Belum ada satupun orang yang datang, dan saya gunakan kesempatan itu untuk berkeliling melihat area kampus. Ternyata kampus yang cukup besar, dan fasilitasnya pun oke. Ia berada di bawah Departemen Perindustrian. Lalu tak lama kemudian, datanglah para pengurus unit gitar klasik, namanya Widya dan Iskan. Keduanya mengatakan bahwa kemungkinan orang-orang akan terlambat, karena ada miskomunikasi. Ada yang bilang jam sembilan, ada yang tahunya jam sepuluh.
Akhirnya, pelatihan pun dimulai. Dimulai, maksudnya, setelah cukup banyak orang yang datang. Banyak itu, sekitar dua puluh orang. Saya memperkenalkan diri, meminta para pengikut unit memperkenalkan dirinya juga sembari menceritakan motivasinya ikut unit ini, serta akhirnya saya memainkan dua buah lagu sebagai "perkenalan" lebih lanjut. Pagi itu, saya berbagi sedikit soal pengetahuan membaca not, membaca ketukan, serta tangga nada mayor. Memang, sebagian besar dari mereka belum terlalu fasih soal dasar-dasar gitar klasik. Tapi, sebetulnya, bukan itu yang jadi sorotan saya. Yang membuat saya bahagia, haru, dan mencintai kegiatan ini, adalah kenyataan bahwa saya berhadapan dengan puluhan manusia yang sedang sangat bersemangat. Saya tidak setuju dengan Trie Utami di AFI dulu, bahwa, "Penonton tak peduli dengan alasan apapun, yang penting nyanyi kamu bagus." Untuk dunia hiburan, bolehlah slogan itu diangkat. Tapi, saya berani bilang di hadapan mereka (oh ya, unit gitar itu bernama Silhouette), bahwa, "Yang penting, adalah alasan kamu disini, semangat serta kerja kerasnya. Permainan? Itu adalah poin tambahan."
Akhirnya, pelatihan pun dimulai. Dimulai, maksudnya, setelah cukup banyak orang yang datang. Banyak itu, sekitar dua puluh orang. Saya memperkenalkan diri, meminta para pengikut unit memperkenalkan dirinya juga sembari menceritakan motivasinya ikut unit ini, serta akhirnya saya memainkan dua buah lagu sebagai "perkenalan" lebih lanjut. Pagi itu, saya berbagi sedikit soal pengetahuan membaca not, membaca ketukan, serta tangga nada mayor. Memang, sebagian besar dari mereka belum terlalu fasih soal dasar-dasar gitar klasik. Tapi, sebetulnya, bukan itu yang jadi sorotan saya. Yang membuat saya bahagia, haru, dan mencintai kegiatan ini, adalah kenyataan bahwa saya berhadapan dengan puluhan manusia yang sedang sangat bersemangat. Saya tidak setuju dengan Trie Utami di AFI dulu, bahwa, "Penonton tak peduli dengan alasan apapun, yang penting nyanyi kamu bagus." Untuk dunia hiburan, bolehlah slogan itu diangkat. Tapi, saya berani bilang di hadapan mereka (oh ya, unit gitar itu bernama Silhouette), bahwa, "Yang penting, adalah alasan kamu disini, semangat serta kerja kerasnya. Permainan? Itu adalah poin tambahan."
Maka, ketahuilah, wahai anak-anak Silhouette, bahwa saya tidak melakukan ini semua dalam rangka menyebarkan virus musik klasik seolah-olah saya ini antek-antek Barat kafir seperti yang FPI dengungkan. Sederhana saja alasannya: Bahwa saya ini telah banyak dibukakan jalur-jalur tempat saya berpijak di bumi ini, oleh musik klasik. Dan ini salah satu cara untuk membalas budi atas segala kebaikan yang musik klasik sudah berikan bagi saya.