Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2013

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Manusia dan Teknologi dalam 2001: A Space Odyssey

Judul Buku           : Manusia dan Teknologi dalam 2001: A Space Odyssey Genre                  : Filsafat, Film Studies Objek Kajian       : 2001: A Space Odyssey (1968) karya Stanley Kubrick Penulis                 : Syarif Maulana Penerbit               : Garasi10 Tahun Terbit        : 2013 Jumlah Halaman   : 113 Harga                  : Rp. 40.000 Ulasan Tahun 2001 sudah lewat. Ramalan Kubrick tentang superkomputer semacam HAL 9000, perjalanan ke Yupiter, hingga tegaknya monolit di sejumlah tempat tidak sepenuhnya terbukti. Namun keakurasian ramalan Kubrick bukanlah sesuatu yang patut dipersoalkan. Kita tahu bahwa ada akurasi yang jauh lebih bisa diambil relevansinya, yaitu pertanyaan tentang paradoks dunia manusia kontemporer: Apakah kemungkinan terbesar yang ditawarkan oleh potensi manusia, justru adalah faktor terbesar yang membuat manusia ter-dehumanisasi –tereduksi kemanusiannya? Apakah kita melihat diri kita sebagai Moon-Watcher yang bertahan hid

Agama dan Solusi Epistemologis

Baru saja saya mendatangi rumah tetangga yang anaknya meninggal. Bukan meninggalnya anak tersebut -yang notabene adalah teman kecil yang saya sendiri lupa-lupa ingat- yang membuat saya sedih. Melainkan membayangkan perasaan orangtua yang ditinggal anaknya. Namun dalam kekosongan pandangan sang ibu yang menyalami tamu satu per satu, terselip satu ucapan dari seorang bapak-bapak yang sepertinya ahli agama. Katanya, "Tabah ya, Bu, karena ia bukanlah punya kita." Suatu ucapan yang klise, yang dulu sering saya olok-olok sebagai "kepasrahan spiritual yang lemah", tapi sekarang saya sadari sebagai -jangan-jangan itulah- solusi satu-satunya untuk meredakan kesedihan sang ibu yang pastinya sangat mendalam. Kasus "kepasrahan spiritual yang lemah" ini pernah saya temukan juga di kelas Extension Course Filsafat UNPAR ketika Pak Bambang Sugiharto selaku pembicara tengah membahas problem lingkungan yang makin lama makin parah dan mengarah pada kehancuran secara glo

The Act of Killing (2012): Rekonstruksi Sejarah oleh Para Eksekutor

Sebenarnya saya bukanlah orang yang menaruh perhatian serius pada sejarah negeri sendiri -sangat menyedihkan!-. Setidaknya belum, sampai saya menonton film dokumenter berjudul Jagal yang judul aslinya adalah The Act of Killing . Film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang Anwar Congo dan Herman Koto, dua eks preman bioskop yang direkrut oleh pemerintah untuk menumpas orang-orang yang dituding sebagai komunis. Latar belakang penumpasan ini ditengarai bernuansa politis sebagai bentuk penggulingan terhadap rezim pemerintahan sebelumnya, Soekarno, yang memang dekat dengan petinggi-petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI).  Anwar dan Herman, kemudian diminta untuk menceritakan bagaimana pengalamannya dalam melenyapkan orang-orang yang dituduh komunis tersebut -tidak hanya diceritakan, tapi juga direkonstruksi ulang sedetail mungkin-. Yang menarik, keduanya boleh merekonstruksi ulang kejadiannya dengan caranya sendiri. Dalam arti kata lain, mereka boleh me

Politik dan Normalitas

  Ada suatu rumus yang tidak ilmiah, tapi tingkat kebenarannya bisa diuji lewat pengamatan. Kita bisa mengetahui nilai-nilai apa yang dianggap normal oleh masyarakat, berdasarkan elit-elit politik yang sedang berkuasa atau berupaya naik ke tampuk kekuasaan. Contoh mudahnya adalah dalam artikel berjudul "Bila Prabowo Presiden 2014, Siapa Ibu Negara?" ini. Bercerainya Prabowo dengan Siti Hediati Haryadi dianggap suatu problem. Terutama kenyataan bahwa jika ia menjadi presiden, maka sungguh tidak patut jika Prabowo berstatus single . Apa artinya? Artinya, seorang elit kekuasaan dianggap normal jika ia menikah, dengan lawan jenis tentunya -kita membayangkan demonstrasi yang masif jika seorang calon presiden ternyata gay -. Lebih lengkap lagi jika ia mempunyai keluarga utuh. Punya anak hasil dari pernikahannya yang monogamistik. Di Indonesia, nilai-nilai yang dianggap benar oleh masyarakat luas adalah agama (baca: Islam). Kita belum menemukan ada seorang non-muslim yang

Bisnis dan Kepercayaan

Di suatu siang, saya mendatangi satu warteg di daerah belakang Setrasari Mal untuk santap siang. Si penjaga yang sedang cuci piring hanya melihat saya sebentar untuk bertanya, "Makan di sini?" Saya menjawab iya. Lalu dia kembali untuk melanjutkan kegiatannya sambil berkata, "Ambil saja."  Saya memang tidak heran dengan gaya warteg pada umumnya yang percaya penuh pada pengunjung untuk mengambil sendiri apa yang mereka inginkan. Setelah mengambil, mereka bisa langsung makan dan nanti membayar sambil mendeskripsikan apa-apa saja yang baru saja diambil. Apakah sangat mungkin ada orang yang darmaji alias dahar lima ngaku hiji (makan lima, mengaku satu)? Tentu saja. Secara epistemologis, pedagang warteg tidak punya pengetahuan akan apa yang diambil pengunjung dan hanya mengandalkan penuturannya saja. Mereka bukan sedang pura-pura percaya seperti supermarket yang membiarkan pengunjung berkeliaran padahal di sana sini tergantung CCTV dan berkeliaran para Fox alias pe

Kelas Filsafat (Pertemuan 4): Sokrates

Diambil dari www.dparamithap.tumblr.com “I know one thing: I know nothing.”  —Part of a series on Socrates  Tidak seperti filsuf-filsuf lain yang menunjukkan intelektualitasnya melalui pernyataan-pernyataan mereka yang kompleks dan rumit, Socrates justru “menyederhanakan” filsafat dengan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah membuat dirinya tampak bodoh di hadapan orang lain. Namun, pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan tersebut dapat menelanjangi idealisme seseorang sehingga membuat orang itu berpikir ulang mengenai esensi dari prinsip yang ia yakini selama hidupnya. Hal ini kemudian disebut “ironi socrates” karena pada saat bertanya, ia tampak seperti orang yang benar-benar tidak tahu apa-apa. Bukan seperti orang yang sedang menguji kemampuan menjawab lawan bicaranya.  Hidup di 469-399 SM, Socrates terkenal sebagai seorang pria bertubuh gemuk yang tidak tampan. Dengan berpakaian sederhana dan tanpa alas kaki ia sering berjalan-jalan di sekitar Agora (alun-