Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2013

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Purifikasi

  Manusia pada dasarnya punya sifat malas. Itu sebabnya dianugerahi kita cara berpikir generalisasi. Kant mengatakan sudah fitrahnya manusia berpikir secara generalisasi. "Jika batu dijatuhkan dua kali dan ia memang jatuh ke bumi, maka sudah pasti manusia akan berpikir bahwa demikian halnya yang ketiga kalinya," begitu kira-kira ujarnya. Cara berpikir semacam ini berlanjut pula ke bagaimana ia memahami lingkungan sosialnya. Tidak banyak manusia yang mau dengan sungguh-sungguh menelaah individu per individu untuk mengetahui kedalamannya. Rata-rata mereka mengambil satu dua sampel saja untuk dijadikan apa yang disebut: stereotip. Ketika misalnya saya pernah mendapati orang Arab yang ramah, saya akan katakan: orang Arab ramah-ramah. Sebaliknya ketika ada orang Arab yang jahil, saya akan bilang: orang Arab jahil-jahil. Begitu pemalasnya saya untuk mengatakan: Ada orang Arab yang jahil, ada orang Arab yang ramah. Rupanya kalimat semacam itu terlalu abu-abu untuk diceritakan pada o

Blade Runner (1982): Distopia yang Masokistik

Meskipun reputasinya sudah beberapa kali saya dengar, namun baru semalam saya kesampaian nonton film Blade Runner . Ekspektasi ketika memutar film ini cukup tinggi. Saya sedang enggan berpikir yang berat-berat sehingga berharap bahwa film ini akan berisi aksi-aksi menawan sehubungan dengan yang main adalah Harrison Ford. Namun lama kelamaan disaksikan, 10 menit; 20 menit; 30 menit; hingga satu jam; saya mulai merasakan bahwa film ini tidak ada tendensi ke arah laga. Film ini punya bau-bau filosofis yang membuat saya paham mengapa Mas Ismail Reza beberapa kali mengangkat wacana untuk mendiskusikan film ini. Jika hanya sekadar film laga, untuk apa kita berdiskusi, kan? Blade Runner mengambil tempat di tahun 2019. Sebuah situasi distopia masa-depan yang ditandai salah satunya oleh terciptanya kloning manusia bernama replicant . Replicant versi terbaru, yakni Nexus 6, adalah replicant yang paling menyerupai manusia dari segi baik emosi maupun intelegensia. Untuk apa replicant ini di

Dunia

Waktu kecil, saya sering meyakini bahwa apa yang saya pikir bagus, berarti itu juga bagus di mata dunia. Seperti misalnya, Indonesia yang sering dipuja-puji sebagai negara kepulauan besar dengan beragam kekayaan alamnya, bagi saya itu merupakan negara terbaik di dunia dan bahkan secara ukuran adalah yang paling besar. Lantas saya pernah mengagumi seorang pemain sepakbola di masa SMP namanya Decky. Saya pikir dia bisa disejajarkan kehebatannya dengan pemain kelas dunia Alessandro Del Piero.  Lantas ada masa ketika saya ingin mendunia seperti apa yang selama ini saya idolakan. Ingin menjadi pemain catur terhebat di dunia, pemain sepakbola terhebat di dunia, gitaris terhebat di dunia, dan seterusnya dan seterusnya. Saya berlatih keras, mengejar mimpi-mimpi itu sampai tiba pada satu pertanyaan: Apakah yang dimaksud "dunia" itu sebenarnya? Apakah "dunia" itu berarti kita dikenal di setiap orang di seluruh dunia? Misalnya saya jalan-jalan ke Finlandia atau ke Guyana

Kelas Filsafat (Pertemuan 3): Eksistensialisme Soren Kierkegaard

Diambil dari www.dparamithap.tumblr.com Setelah diliburkan selama dua minggu akibat berlangsungnya ujian tengah semester juga adanya kesibukan sang pengajar sebagai musisi bandung masa kini (iya, musisi bandung yang sedang sibuk manggung sana-sini katanya), kelas filsafat telah kami laksanakan kembali pada Kamis, 2 Mei 2013 yang lalu. Pertemuan ketiga ini dilakukan setengah jam lebih lambat dari biasanya, sekitar pukul 11.15, akibat Manda dan saya sendiri yang bangun dan datang ke kampus dengan terlambat (pengakuan dosa). Kelas yang biasanya kami selenggarakan di perpustakaan FIB kali ini terpaksa harus direlokasi karena entah kenapa pada Kamis yang lalu perpustakaan begitu penuh dengan para mahasiswa yang sepertinya sedang mengerjakan tugas. Agar mendapatkan suasana baru yang lebih tenang, kami memutuskan untuk berdiskusi outdoor, di bangku-bangku biru samping pakilun, persis di depan kansas. Peserta kelas filsafat kali ini kembali ke formasi awal—Kang Syarif, Manda, dan saya.