Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Sekitar bulan lalu, kira-kira tanggal 28 Desember (saya ingat, karena sehari sebelum final Piala AFF), saya jalan-jalan bersama pacar dan teman-temannya di Mal FX, kawasan Sudirman, Jakarta. Sore itu kami bermaksud nonton film Gulliver's Travel. Kala berjalan menyusuri mal-menuju bioskop, saya menemukan ada tempat makan yang menarik. Namanya Foodism. Menarik karena banyak foto wajah orang terpampang di dalamnya. Yang dipajang bukan foto orang sembarangan, mereka adalah orang-orang yang akrab disebut dalam sejarah. Apa maksud restoran tersebut memasang wajah mereka, saya tidak paham. Kalau saya tanya-tanya pelayannya pun mungkin mereka geleng-geleng saja. Saya juga saat itu sudah kenyang, sehingga tidak tertarik makan di dalamnya. gambar diambil dari sini Ketidakpahaman saya akan "Mengapa mereka semua ada disana?" menggelitik saya untuk menerka-nerka saja. Dari beberapa foto di sana, tiga diantaranya adalah tokoh besar dari kalangan kiri, yakni Lenin, Marx, dan Mao. Tak pe