Sekitar bulan lalu, kira-kira tanggal 28 Desember (saya ingat, karena sehari sebelum final Piala AFF), saya jalan-jalan bersama pacar dan teman-temannya di Mal FX, kawasan Sudirman, Jakarta. Sore itu kami bermaksud nonton film Gulliver's Travel. Kala berjalan menyusuri mal-menuju bioskop, saya menemukan ada tempat makan yang menarik. Namanya Foodism. Menarik karena banyak foto wajah orang terpampang di dalamnya. Yang dipajang bukan foto orang sembarangan, mereka adalah orang-orang yang akrab disebut dalam sejarah. Apa maksud restoran tersebut memasang wajah mereka, saya tidak paham. Kalau saya tanya-tanya pelayannya pun mungkin mereka geleng-geleng saja. Saya juga saat itu sudah kenyang, sehingga tidak tertarik makan di dalamnya.
gambar diambil dari sini
Ketidakpahaman saya akan "Mengapa mereka semua ada disana?" menggelitik saya untuk menerka-nerka saja. Dari beberapa foto di sana, tiga diantaranya adalah tokoh besar dari kalangan kiri, yakni Lenin, Marx, dan Mao. Tak perlu bahas semuanya, cukup kita bahas singkat Karl Marx saja. Karena Lenin dan Mao pun sesungguhnya mengklaim diri sebagai Marxis sejati. Marx, kita tahu, dia adalah pendekar yang menentang segala bentuk ekploitasi dari para kapitalis. Ia barangkali merupakan orang pertama yang "sangat curiga" dengan bentuk ucapan dan janji manis kapitalisme yang saat itu tengah merajalela seiring revolusi industri. Marx akhirnya menyuarakan keberatannya ini dalam semacam ajakan bagi kaum buruh untuk bersatu, menggulingkan para pemilik modal dan tuan tanah, membiarkan diri untuk dipimpin oleh seorang diktator proletariat, hingga berujung pada bubarnya negara-negara karena seluruh manusia sejahtera secara merata. Utopis? jelas, karena faktanya sekarang ini negara-negara Komunis yang mengklaim menganut ideologi Marx tumbang satu per satu. Barangkali kita cuma bisa melihat sisa-sisanya dalam diri Kuba ataupun Korut. Di Indonesia apalagi, sejak diklaim sebagai "bahaya laten", ruapan gerak kaum Marxis menjadi sangat terbatas dan sedikit demi sedikit diberangus. Sekarang ini ide dan cita-cita Marx soal penyamarataan ditandaskan dengan mudah oleh kapitalisme. Marx mengakui, untuk menjadikan segalanya sama rata sama rasa sesuai cita-cita, butuh revolusi, revolusi kelas. Ini yang sulit dan tidak mendapat tempat. Setiap tercium bau revolusi, kapitalisme segera menawarkan ancaman, "Hayo, gak takut kelaperan lu?"
Bayangan saya kembali ke restoran itu, yang bernama Foodism itu. Disana juga ada Gandhi dan Ali. Orang yang dengan gigih mau berdiri di atas kakinya sendiri untuk menentang perang. Gandhi menawarkan tiga gerakan rakyat, yakni Ahimsa, Satyagraha, dan Swadeshi, untuk mengakhiri pendudukan kolonial Inggris. Sedangkan Ali sang petinju, ia berkoar-koar soal betapa Perang Vietnam tidak beradab bagi umat manusia. Semuanya, mereka: Marx, Lenin, Mao, Gandhi, dan Ali, yang barangkali berurat baja pada hampir sepanjang hidupnya, sekarang boleh melemaskan otot-otot dan duduk bahagia di balik bilik kaca. Otaknya yang mendidih kala berjuang dan bertarung, sekarang telah dibuat adem oleh freon. Kata-kata yang akrab mendesing di telinga mereka dulu, seperti "Perlawanan, revolusi, kejayaan," sekarang diganti oleh celetukan santai seperti, "best-order, hang-out, atau thanks god it's Friday!" Kapitalisme, sekali lagi, sukses berjaya. Dan kali ini ia mengukuhkan kejayaannya bulat-bulat, dengan berkata pada para pembesar itu:
"Saksikan, wahai para Revolusionaris. Sesungguhnya, kaum proletar yang kalian bela sekarang tak berdaya. Mereka beli, mereka mengonsumsi, mereka kenyang dan setelah itu enggan berjuang. Sesungguhnya yang lemah dilarang menang!"