Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Anies Baswedan dan Akechi Mitsuhide

  Masa kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta memang baru sebentar. Namun kritik tajam yang dialamatkan tidak kunjung berhenti. Anies seperti bingung bagaimana cara memimpin Jakarta, terlebih lagi dibayang-bayangi oleh pemerintahan sebelumnya yang cukup keras, tegas, dan memberikan sejumlah perubahan signifikan. Kebingungan Anies memang sedikit banyak sudah diprediksi dari sebelum naik jabatan. Anies, tanpa punya latar belakang birokrasi yang cukup, tiba-tiba mencalonkan diri menjadi gubernur setelah sebelumnya lebih dikenal berkecimpung di dunia pendidikan. Naiknya Anies juga ditandai oleh sejumlah isu intoleran yang menyerang calon gubernur incumbent , Ahok. Ahok - yang berlatarbelakang Tionghoa dan Kristen -, diserang habis-habisan lewat mobilisasi massa besar-besaran yang lebih terlihat sebagai sebuah aksi politik daripada agama.  Detail kejadian itu, kita semua sudah tahu. Tidak perlu dipaparkan lebih lanjut. Hanya saja telikung politik semacam ini sebenarnya

Akademisi dan Bigotri

  Awal mula saya menuliskan ini, pertama-tama yang saya cari adalah asal kata " bigot ". Wiktionary menyebut bigot sebagai kata yang berasal dari Bahasa Prancis Kuno yang disematkan pada orang yang mempunyai pandangan religius yang hipokrit. Bigot juga diartikan sebagai orang dengan sikap intoleran dan berpandangan penuh kebencian pada kubu yang berseberangan dengannya secara ideologis. Bigot , dalam Bahasa Indonesia, sinonimnya sangat sederhana: fanatik. Lalu sebuah status yang ditulis oleh dosen Fakultas Ilmu Budaya UNPAD kemarin, Aquarini Priyatna, menggelitik benak saya. Isi status tersebut kira-kira menyebutkan tentang bahaya orang-orang berpendidikan tinggi yang terjangkiti bigotri (ke- bigot -an). Status tersebut juga ternyata menjadi pertanyaan saya sudah sejak lama: Mengapa pendidikan yang tinggi tidak menjadi jaminan seseorang untuk berpikiran lebih terbuka? Dalam pengamatan saya yang sederhana, setidaknya dari kampus yang pernah saya gauli, bigotri itu tidak

Terima Kasih, 2017!

Tahun 2017 adalah tahun yang akan saya ingat untuk selamanya. Tahun ini memberikan banyak pengalaman dan pelajaran. Dimulai dari tanggal 12 Maret, saat itu saya dan keluarga sedang enak-enak makan di Sushi Tei. Muncul pesan via line yang berisi berita bahwa sejumlah mahasiswa sedang berdemonstrasi terkait kasus perampasan buku oleh rektorat yang berujung pada skorsing. Saya tinggalkan acara hedonistik itu dan bergegas ke Jalan Japati. Di sana sudah berkumpul puluhan mahasiswa yang memrotes skorsing. Niat saya hanya lihat-lihat, tapi akhirnya terlibat. Turut melakukan orasi, meski isinya cuma standar dan begitu-begitu saja. Besoknya foto saya pegang toa muncul di media daring dengan tajuk provokatif Dosen Telkom Pimpin Komunisme . Saya telpon redaksi karena merasa keberatan. Dengan dibantu Bilven Sandalista, akhirnya redaksi mengerti dan membuat berita klarifikasi dengan judul Dosen Telkom University Bukan Pendukung Komunis (masih ada jika digoogling). Sementara itu, berita sebelumnya

Pertaruhan dan Hukuman Seumur Hidup

  Perdebatan tentang mana yang lebih baik antara hukuman mati dan hukuman seumur hidup memang kerap pelik. Ada versi yang mengatakan bahwa hukuman mati lebih manusiawi karena tidak memperlama penderitaan dan menimbulkan efek jera bagi yang mengetahuinya. Sementara itu hukuman seumur hidup, di sisi lain, dianggap lebih baik karena negara sebenarnya tidak mempunyai wewenang mencabut nyawa warga negara. Akhirnya saya cukup tercerahkan tentang perdebatan ini setelah membaca cerpen Anton Chekhov yang berjudul Pertaruhan .  Cerpen yang ditulis tahun 1889 tersebut berkisah tentang perdebatan antara bankir dan yuris (ahli hukum). Kata bankir, "Hukuman mati langsung membunuh, sedangkan hukuman kurungan selama hidup membunuh secara perlahan-lahan. Manakah algojo yang lebih berperikemanusiaan? Yang membunuh dalam beberapa menit, atau yang menarik-ulur nyawa Tuan selama bertahun-tahun?" Yuris berpendapat lain, "Hukuman mati dan hukuman kurungan seumur hidup sama-sama tidak bermo

Rahim dan Alam Semesta

  Ditulis tahun 2013 untuk buku bunga rampai berjudul Mom, The First God that I Knew. Istri, saat saya tengah menuliskan ini, sedang dalam perjalanannya untuk menjadi seorang ibu. Ia tengah dalam masa hamil dan memasuki bulan ke sembilan. Namun jika ditanya, sudah siapkah menjadi ibu? Ia selalu menjawab sudah, karena saya sudah menjadi ibu. Sejak kapan? Anaknya saja belum lahir. Oh, tidak, kamu salah, saya sudah jadi ibu sejak anak itu berada dalam kandungan.   Mungkin tidak rasional sama sekali jika saya jelaskan pada kamu bagaimana istri saya selalu bicara dengan jabang bayi di perutnya hampir dalam setiap gerak-geriknya. Ia bicara dengan nada suara penuh kasih sayang yang biasa kita dengarkan dari seorang ibu pada anaknya. Meski belum bertemu, ia sering mengusapi perutnya dengan halus dan berkata, Mami kangen, ingin jumpa.  Saya kadang-kadang sering ketus dengannya dengan mengatakan, Memang dia bisa dengar? Tapi dunia ini menjadi bengis oleh berbagai rasionalitas laki

Karena Agama, Perlu Manusia

Mengapa saya baca buku ini? Karena teringat dulu waktu zaman masih twitteran, ada akun bigot yang mengaku-ngaku kristolog, namanya @hafidz_ary. Dia sering mensimplifikasi Kristen dengan pemahamannya yang sangat menghakimi. Saya baca ini, karena tidak yakin sejarah Gereja, yang telah bertahan ribuan tahun ini, sesimpel apa yang dipikirkan oleh sebuah akun kemarin sore. Agama dan manusia adalah hal yang saling bertautan. Agama kerap bermuatan "kata-kata Tuhan" yang seringkali multitafsir dan bahkan paradoks. Tapi itulah cara Tuhan berbicara: agar kita semua, manusia, kemudian berpikir dengan keras tentang bagaimana mengurai hal-hal yang multitafsir dan paradoks itu. Harus diakui, betapa besar dan tegarnya, peradaban yang dibangun atas "kata-kata Tuhan". Manusia tidak pernah berhenti untuk merindukan Tuhan yang "turun ke dunia". Itu sebabnya muncul berbagai aliran pemikiran, rumah ibadah, kidung pujian, seni visual, dan lain-lainnya sebagai bentuk pen

Seni Bandung #1: (Upaya) Mengurai Jalinan yang Rumit Antara Seniman, Ruang Publik dan Pemerintah

  *) Ditulis sebagai suplemen dalam forum Bandung Music Meeting di Balai Kota Bandung, 16 Desember 2017. Pada pertengahan bulan September 2016, saya dihubungi oleh kawan, Heru Hikayat, melalui Whatsapp. Pertanyaan pertamanya saya ingat: “Kamu siap jadi ‘seniman plat merah’?” Saya mengerti sedikit maksudnya, tapi tidak terlalu peduli dengan pertanyaan itu. Hal yang terjadi berikutnya adalah kami semua bertemu di kediaman Iman Soleh di Celah-Celah Langit (CCL), belakang Terminal Ledeng. CCL adalah ruang alternatif yang kerap digunakan berbagai pertunjukan seperti musik, sastra, dan teater. Di tempat tersebut, kami berkumpul (saya akan menggunakan sapaan yang saya sematkan bagi mereka): Kang Iman, Kang Heru, Om Tisna Sanjaya, Kang Ahda Imran, Uda Alfiyanto, Kang Asep Budiman, Kang Dedi Warsana, dan saya. Untuk apa? Kata Kang Iman, Pak Wali Kota ingin membuat acara besar yang menyatukan para seniman. Acara tersebut haruslah sekaligus menjadi identitas bagi Kota Bandung. Akhirnya kami mer

Perkenalkan, Ini Istriku, Dega

Halo, dunia, perkenalkan ini istriku, Dega. Kami menikah sejak enam tahun silam setelah dua setengah tahun berpacaran. Kami bertemu oleh sebab jasa seorang kawan, namanya Johan. Aku dan Johan sedang dalam persiapan untuk mengadakan resital gitar klasik tahun 2007 dan ketika kami sedang menyusun teks ucapan terima kasih, Johan menyisipkan satu nama: "Dega France". Aku tertarik juga dengan betapa anehnya nama tersebut. Lalu aku tanya-tanya, melihat Friendsternya, dan memutuskan untuk menghubungi. Waktu aku hubungi "Dega France" (yang orang Jakarta), dia awalnya curiga, hingga akhirnya lama kelamaan, nyaman juga kami bicara. Kami berjumpa pertama kali di Jakarta. Dia minta aku bawakan Brownies Amanda dan kaos sepakbola. Tapi aku tidak membawanya, karena alasan yang tidak jelas.  Sejak aku pertama melihatnya langsung di Jakarta itu, aku langsung suka. Aku hendak mengejarnya sampai dapat. Tapi seperti biasa, aku, yang mudah terdistraksi perempuan ini, melanjut

Kontemplasi Warung Bubur bersama Ismet Ruchimat

Sudah lama tidak menulis untuk blog pribadi. Dalam nyaris setahun belakangan ini, saya sedang aktif dan terlibat dengan proyek Pemerintah Kota Bandung yang bernama SeniBandung #1. Acara yang melibatkan ribuan seniman dan berlangsung selama satu bulan di berbagai titik tersebut, membuat saya menjadi kenal lebih banyak orang. Salah satunya adalah rekan di tim kurator musik, Kang Ismet Ruchimat, seorang komposer dan multi-instrumentalis bagi kelompok yang sudah sangat dikenal baik secara nasional maupun internasional, Sambasunda. Kami sering bercakap-cakap tentang banyak hal, namun seringnya via Whatsapp - begitupun ketika merumuskan sejumlah hasil kurasi dan program bagi SeniBandung, umumnya juga, lewat Whatsapp -.  Barulah kemarin saya mendapat kesempatan untuk ngobrol panjang lebar dengan Kang Ismet, di suatu malam pasca menyaksikan resital karawitan sebagai tugas akhir dari para mahasiswa di ISBI Bandung. Kang Ismet, yang merupakan penguji bagi resital tersebut, tidak langsung pul

Jantan: Antara Adu Domba, Maskulinitas, dan Manifestasi Digital

(Ditulis sebagai pengantar kuratorial untuk pameran Aci Andryana di Sekolah Tinggi Desain Indonesia, 29 Agustus 2017) Dalam esai berjudul Cock Fight and The Balinese Male Psyche yang ditulis oleh Arthur Asa Berger pada tahun 2007, disebutkan bahwa aktivitas adu ayam di Bali tidak hanya mempunyai aspek hiburan saja. Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pertunjukkan tersebut, terdapat dimensi lain seperti sosial, religius, hingga seksualitas yang juga turut berperan. Terkait dengan yang disebutkan terakhir, dalam penelitian Berger, secara spesifik disebutkan bahwa adu ayam secara tersirat mengandung glorifikasi atas maskulinitas. Ada kebanggaan yang besar bagi pemilik ayam, ketika ayamnya dielu-elukan oleh para penonton. Pun ketika darah mulai bermuncratan dalam pertarungan, ada semacam kepuasan yang disebut Berger sebagai “orgasme psikologis”.  Adu ayam dengan adu domba tentu tidak sedemikian jauh berbeda. Pada dasarnya, keduanya punya fungsi yang sama dalam menyalurkan hasra

Museum, Komunitas, dan Ranah Publik

*) Dipresentasikan di acara "Seminar 128: Bersama Museum Rekatkan Kebhinekaan", Museum Geologi Bandung, 12 Agustus 2017.  Mari memulai tulisan ini dengan sesuatu yang jauh dari perbincangan tentang museum. Para penggemar sepakbola tentu tahu Arsene Wenger, pelatih tim sepakbola Liga Inggris, Arsenal. Di masa mudanya, ia adalah orang yang kerap menyempatkan diri untuk pergi ke bar dan menonton sepakbola di sana bersama banyak orang (istilah zaman sekarang mungkin “nobar”). Seperti biasa kita dapati ketika nobar Persib misalnya, masing-masing bobotoh tentu berkomentar, meski hanya berupa celetukan, tentang bagaimana harusnya tim kesayangannya bermain. “Harusnya dia bermain di sayap!”, “Harusnya penyerang itu diganti!”, “Harusnya pemain lawan itu dijaga lebih ketat!” begitu mungkin ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar ketika nobar. Lalu Wenger mengatakan dengan jujur, “Saya belajar dari celetukan-celetukan orang di bar tentang taktik sepakbola.”  Pengakuan te

Masa Depan dan L'Avenir

Gambar diambil dari sini . Dalam film dokumenter tentang Jacques Derrida, pemikir kontemporer Prancis tersebut mengungkapkan pikirannya mengenai masa depan di bagian pembuka film:  “ In general, I try and distinguish between what one calls the Future and “l’avenir” [the ‘to come]. The future is that which – tomorrow, later, next century – will be. There is a future which is predictable, programmed, scheduled, foreseeable. But there is a future, l’avenir (to come) which refers to someone who comes whose arrival is totally unexpected. For me, that is the real future. That which is totally unpredictable. The Other who comes without my being able to anticipate their arrival. So if there is a real future, beyond the other known future, it is l’avenir in that it is the coming of the Other when I am completely unable to foresee their arrival. ” Saya tidak terlalu paham dengan apa yang dikatakan Derrida, hingga sejak tiga bulan terakhir ini mulai menjalani hidup serabutan. Pad

Buku dan Dunia Akademik (Tertentu)

Untuk Menyindir Dalam suatu pertemuan santai, saya mengajukan pertanyaan pada Pak Yasraf (Amir Piliang), "Pak, bagaimana menghadapi pelabelan dari orang lain terhadap kita? Misalnya, pelabelan komunis ataupun liberal." Dengan gaya yang santai, beliau menjawab singkat, "Biar saja, karena mereka yang melabeli itu, tidak menakar kita dalam konteks akademik." Lalu dialog pun berlanjut ke sesi imajiner, dengan saya mengajukan pertanyaan tambahan, "Tapi bagaimana jika yang melabeli itu adalah orang-orang yang setiap harinya ada di wilayah akademik?" Saya bisa membayangkan Pak Yasraf tersenyum kecut, geleng-geleng kepala, sambil berkata, " Eta mah lieur atuh! " Label-label tersebut kadang datang entah dari mana. Bisa jadi, hanya dari aktivitas-aktivitas yang kelihatannya parsial saja: membaca buku, menulis status di media sosial, ataupun terlibat dalam sejumlah kegiatan. Memang, aktivitas-aktivitas tersebut bisa jadi dasar penilaian orang lain

Masih Adakah Nuansa Personal Dalam Pusaran Digitalisasi Maaf-Maafan?

Lebaran tahun 1438 Hijriah ini, dunia digital masih dan semakin berkuasa. Nyaris setiap menit (atau bahkan detik), pesan demi pesan masuk ke Whatsapp saya, yang kadang saya baca, tapi umumnya tidak. Kenapa tidak dibaca? Tentu saja, karena pesan itu semua terlihat sama saja. Mungkin ada beberapa yang kreatif - yang menimbulkan senyum kecil, yang membuat saya ingin meneruskan pesan itu - tapi sayang sekali, tidak orisinil. Ia yang saya pikir kreatif itu, juga meniru dari yang lain.  Tapi dalam dunia kontemporer ini, mungkin orisinalitas adalah isu yang ketinggalan. Semua memproduksi, semua mengonsumsi. Di masa lebaran, kita berada dalam pusaran "digitalisasi maaf-maafan" yang sangat masif, sehingga semua bisa kreatif, semua bisa inovatif, semua bisa merajut kata-kata indah, semua bisa menyuguhkan ragam visual yang estetis, tapi sekaligus: semua menjadi tidak bermakna. Pada titik ini, kita sudah sulit berbicara " medium is the message "-nya Marshall McLuhan ya

Menunda Asumsi, Melesapi Peristiwa: Selayang Pandang Konsep Fenomenologi dalam Pandangan Husserl dan Caputo

Pada awal abad ke-20, muncul benih-benih perlawanan terhadap paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan. Cara pandang yang sudah sedemikian lekat sejak era Francis Bacon di abad akhir ke-16 tersebut dianggap tidak mampu menjawab sejumlah permasalahan. Protes mulai bermunculan ketika Auguste Comte, seorang sosiolog Prancis di abad ke-19, menyerukan dengan sangat yakin, bahwa sebagaimana halnya alam yang bisa diprediksi dan dikontrol, manusia pun akan sampai pada tahap yang demikian. Majunya ilmu pengetahuan, bagi Comte, akan membawa manusia keluar dari fase teologis dan metafisik, sehingga masuk ke suatu era yang paling cerah: era positif. Pada titik ini, sederhananya, segalanya menjadi jelas dan bisa dijelaskan, baik fenomena alam maupun fenomena manusia.  Protes tersebut datang dari beberapa kubu. Wilhelm Dilthey misalnya (1833 – 1911), membedakan tegas antara ilmu-ilmu alam ( naturwissenschaften ) dan ilmu-ilmu manusia ( geisteswissenschahften ). Ilmu-ilmu alam, menurut