Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Saya sudah melihat film ini sekira setahun yang lalu. Dan semalam saya menyaksikannya kembali di teve kabel. Oh, membuat saya ingat bahwa saya pernah menulis soal film tersebut di blog lama saya. Membuat saya ingin memindahkannya dari blog lama ke sini, untuk lalu diedit, dengan sudut pandang saya berdiri sekarang. Melihat kuartet Carrie Bradshaw, Samantha Jones, Charlotte York, dan Miranda Hobbes, sulit dipungkiri bahwa kita juga sekaligus menyaksikan etalase fashion yang berkilau, budaya konsumerisme tak berujung, serta citra masyarakat New York yang hedonis dan teralienasi. Sama halnya dengan edisi serial, versi layar lebar ini masih mengedepankan identitas tersebut. Bedanya barangkali terletak pada upaya pengonklusian yang digambarkan lewat cerita pernikahan antara Carrie dan Big. Keseluruhan film berdurasi sekitar dua jam lima belas menit ini (cukup panjang untuk ukuran film yang delapan puluh persennya berisi ngobrol-ngobrol), sebenarnya mengangkat isu yang tak pernah ketinggalan