Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2009

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Sex and The City The Movie: Upaya Menjadi Manusia Etis

Saya sudah melihat film ini sekira setahun yang lalu. Dan semalam saya menyaksikannya kembali di teve kabel. Oh, membuat saya ingat bahwa saya pernah menulis soal film tersebut di blog lama saya. Membuat saya ingin memindahkannya dari blog lama ke sini, untuk lalu diedit, dengan sudut pandang saya berdiri sekarang. Melihat kuartet Carrie Bradshaw, Samantha Jones, Charlotte York, dan Miranda Hobbes, sulit dipungkiri bahwa kita juga sekaligus menyaksikan etalase fashion yang berkilau, budaya konsumerisme tak berujung, serta citra masyarakat New York yang hedonis dan teralienasi. Sama halnya dengan edisi serial, versi layar lebar ini masih mengedepankan identitas tersebut. Bedanya barangkali terletak pada upaya pengonklusian yang digambarkan lewat cerita pernikahan antara Carrie dan Big. Keseluruhan film berdurasi sekitar dua jam lima belas menit ini (cukup panjang untuk ukuran film yang delapan puluh persennya berisi ngobrol-ngobrol), sebenarnya mengangkat isu yang tak pernah ketinggalan

Terima Kasih, Gitar Klasik (Bagian Dua)

Ketika kau pernah nge- band , memainkan lagu-lagu seperti Nirvana dan Black Sabbath. Lalu belajar gitar elektrik hingga sedikit-sedikit bisa menirukan Jimi Hendrix dan Ritchie Blackmore. Lalu keseharianmu yang kau dengar adalah Metallica, plus memajang posternya di kamar, di samping foto Eric Clapton. Tidakkah memutuskan menggeluti gitar klasik adalah hal yang kurang keren? Siapakah tokoh gitar klasik yang saya tahu, kecuali guru saya sendiri, Kwartato Prawoto? Tapi demikianlah, akhirnya saya terpanggil oleh entah apa. Untuk menekuni gitar klasik, ranah yang sepi dan sunyi ini, secara lebih serius. Sejak konser di Aula Barat, orangtua saya sepakat untuk membelikan gitar yang lebih bagus. Lebih layak untuk dimainkan di konser klasik yang sangat mengedepankan kesempurnaan dan kemurnian bunyi. Saya berlatih lebih serius, dan porsi belajar gitar elektrik semakin dikurangi. Hingga tiba akhirnya, hari itu, dua tahun setelah konser di Aula Barat. Suatu bulan Oktober di tahun 2003, saya konser

Terima Kasih, Gitar Klasik (Bagian Satu)

Saya ingat kejadian itu, meski lupa tanggal, lupa hari. Kejadian dimana seorang bapak yang belum tua-tua amat memasuki kamar saya. Bawa gitar dan bawa penyangga partitur. Ia duduk di tempat yang saya sediakan, sedangkan saya, duduk santai di kasur. Saya tanya ia pertama kali, "Bapak, tahu Joe Satriani?" Lalu dia diam sejenak, keningnya mengkerut, lalu menjawab singkat, "Tahu." Entah kenapa, saya tidak percaya dia tahu. Karena toh ia sibuk sendiri menyiapkan materinya yang pertama. Materinya di hari pertama. Hari pertama ia mengajari saya. Mengajari saya gitar klasik. Namanya Kwartato Prawoto. Saya waktu itu tahunya Pak Prawoto saja. Ia berkumis tebal, rambutnya pendek, tebal juga, dan kaku. Matanya sayu dan kulitnya menurut saya sih, hitam. Gayanya tidak luwes dan sepertinya ia agak canggung. Joe Satriani adalah nama gitaris elektrik asal Amerika, turunan imigran Italia. Saya menggemarinya, punya banyak kasetnya. Saya? Saya lupa umur saya berapa, tapi kitaran kelas

Ujian Oh Ujian

Biasanya saya selalu menyempatkan diri untuk meng- update blog ini setiap minggunya (bahkan beberapa kali dalam seminggu). Tapi belakangan, saya terbentur fokus pada ujian. Ujian apa gerangan? Ujian gitar tepatnya. Gitar klasik. Sesuatu yang sudah saya geluti sepuluh tahun lamanya. Dan sekarang diujikan seolah-olah dengan itu saya bisa tahu, berapa, angka kemampuan gitar saya selama ini.    Ujian tersebut akan dilaksanakan 19 Oktober. Namanya ujian ABRSM, singkatan dari Association Board of Royal School of Music. Atau orang sini dengan singkat menyebutnya ujian Royal. Inggris punya. Ujian tersebut terdiri dari empat tes. Pertama adalah tes karya. Saya diminta memainkan tiga karya yang berasal dari tiga kelompok berbeda. Kelompok itu sepertinya dibedakan menurut periodisasi. Kelompok pertama adalah jaman Renaisans dan Barok. Kelompok dua adalah jaman Klasik dan Barok. Sedangkan kelompok tiga adalah musik Abad ke-20. Kedua adalah tes tangga nada. Saya diminta menghapal 27 tangga nada, y

Pengalaman Mental

Minggu, 8 Februari 2009 Hari itu aku duduk sendiri Malam-malam lampu dimatikan Mata terpejam pekat menerkam Yang tersisa tinggal bunyi-bunyian Datang dari si gila Zappa Lalu cahaya itu datang Membingkai pekatku segi empat Setiap gebuk drum ada ledakan gemintang di sana Ya, ya, disana Kau tidak akan melihatnya Raungan gitar mengilatkan cahaya Tipis di sudut kiri bawah Betotan bas melahirkan kunang-kunang Terbang melayang terbebas tanpa berkedip Beethoven sekarang ambil bagian Memainkan simfoni nomor sembilan Jayalah ia sang mahakarya Memainkan Ode a La Allegria Dari bintang ia turun ke bumi Mencari tempat yang pas untuk melihat angkasa Angkasa angkasa dimanakah kamu Aku disini mencari kebermaknaan dari hal-ikhwal Dahulu mungkin semuanya satu Tapi pikiran membelah semuanya Menjadi lemah dan terpecah Maka biarkan aku meleburkannya kembali Menjadi cinta dan rindu yang tak bernama Tubuhku bergetar hebat Lalu jatuh lunglai dalam kegilaan yang nikmat Land of Psychedelic Illumination (Brian Ex