Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Kata Georg Simmel tentang Sifat yang Hanya Muncul Akibat Uang


Georg Simmel adalah sosiolog asal Jerman yang terkenal salah satunya karena menulis buku berjudul The Philosophy of Money (1900). Di dalam buku yang tebalnya kira-kira enam ratusan halaman tersebut, Simmel menuliskan pandangannya mengenai uang dari sudut pandang filsafat, psikologi dan sosiologi. Menariknya, Simmel tidak terlalu membahasnya dari sisi ekonomi ataupun memandangnya secara kritis seperti Marx. Secara garis besar, Simmel malah terkesan pesimistik: menunjukkan bahwa kita tidak mungkin lepas dari uang dan bahkan semakin canggih perkembangan akal budi manusia, justru makin menerima macam-macam uang yang tidak rasional! 

Sebagai contoh, pada mulanya, uang merupakan sertifikat yang merepresentasikan cadangan logam mulia di suatu wilayah. Namun lama-kelamaan, hubungan uang dengan apa yang direpresentasikannya ini diputus dan nilai uang menjadi dijamin hanya oleh otoritas. Artinya, hanya kepercayaan pada otoritas saja yang membuat uang menjadi bernilai dan bagi Simmel, ini justru paradoks: rasionalitas manusia membawanya pada kepercayaan terhadap hal-hal yang justru irasional. Simmel menuliskan gagasannya tersebut jauh sebelum Richard Nixon memberlakukan nilai uang yang terpisah dari emas pada tahun 1971. 

Dalam tulisan ini, yang akan dibahas secara spesifik adalah sifat-sifat yang khas muncul akibat uang di dalam bab tiga yang berjudul Money in the Sequence of Purposes. Menurut Simmel, sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:

Rakus 

Manusia menciptakan uang kemungkinan karena menginginkan hal-hal yang di luar apa yang bisa dibarterkan. Misalnya. A punya jeruk, B punya apel. A bisa melakukan barter dengan B jika A menginginkan apel kepunyaan B dan sebaliknya, B juga menginginkan jeruk kepunyaan A. Lalu bagaimana jika A menginginkan apel milik B tetapi B tidak menginginkan jeruk milik A? Di situlah A mesti menggunakan uang sebagai alat tukar yang membuat B bisa mempunyai opsi lain tanpa harus menukarkan apelnya dengan jeruk. B, meski kehilangan apelnya, ia bisa menukarnya dengan hal-hal lain yang ia lebih inginkan ketimbang jeruk.

Maka itu, menurut Simmel, semakin banyak kita menyimpan uang, semakin banyak juga opsi untuk mendapatkan sesuatu yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan dan juga keinginan kita. Uang ini tidak terbatas untuk ditukarkan pada barang saja, melainkan juga melingkupi hal-hal yang abstrak seperti cinta, kebebasan dan kekuasaan. Sehingga kemudian menjadi wajar jika orang-orang mulai mencari uang dan menumpuknya, karena selain luasnya opsi itu tadi, uang juga cenderung tahan lama (tentu berhubungan dengan sifat logam mulia).

Menariknya, sifat rakus ini seringkali tidak berhubungan dengan apakah uang tersebut sudah dirasa cukup atau belum untuk memenuhi kebutuhannya selama katakanlah satu tahun. Rakus dapat diartikan sebagai sifat yang menyukai uang "tanpa alasan". Ibarat orang yang senang melihat angka gemuk di rekeningnya padahal kebutuhannya hanya sepersekian saja dari uang yang dipunyainya. Sifat rakus ini, tambah Simmel, sebenarnya juga diturunkan dari kepemilikan lahan yang dipunyai secara pribadi dan turun temurun. Menjual lahan, dalam konteks tertentu, dapat dianggap tidak hanya kurang menghormati leluhur tetapi juga mengabaikan nasib keturunan-keturunannya.

Senang Menghambur-hamburkan 

Jika sifat rakus cenderung memandang uang sebagai sesuatu yang harus tetap dan "membeku", maka sifat senang menghambur-hamburkan memandang uang sebagai sesuatu yang harus terus mengalir dan tidak boleh diam. Apa yang dibeli oleh orang dengan sifat seperti ini bisa jadi bukanlah hal-hal yang diperlukannya, melainkan karena memang ia mendapat kepuasan dari menghambur-hamburkan uang tersebut. Simmel mencontohkan bagaimana Pangeran Conti mengirimkan berlian pada perempuan yang kemudian ditolak dan dikembalikan. Pangeran Conti meminta berlian tersebut dihancurkan hingga menjadi bubuk untuk dikirimkan kembali melalui surat. Dalam konteks kekinian, sifat ini mungkin dapat terlihat dari orang-orang yang senang berbelanja barang-barang mewah meskipun tidak diperlukan. Bagi orang-orang tertentu, membeli pakaian, misalnya, bisa jadi hanya untuk sekali pakai saja dan besoknya langsung dibuang.

Kemiskinan asketik 

Kemiskinan asketik merupakan sikap yang merespons uang tetapi dengan cara menolaknya. Dalam pandangan Simmel, sikap semacam itu tidak mungkin ada jika tidak dipicu oleh uang dan berbagai dampaknya. Simmel memberi contoh para bhiksu Buddhis yang melepaskan segala harta kepemilikan dan hanya hidup berdasarkan kebutuhan sehari-hari saja. Uang dalam hal ini malah dianggap sebagai perwujudan duniawi yang lekat dengan segala godaan yang buruk. Demikian halnya dengan para biarawan Fransiscan awal-awal yang justru mengglorifikasi kemiskinan sebagai sikap ideal yang harus dicapai sebagai usaha untuk memangkas akar-akar sekularisme. Pada intinya, kemiskinan asketik ini bukan kemiskinan yang timbul karena masalah ketimpangan sosial, melainkan "disengaja" sebagai sebuah ajaran yang memandang uang sebagai sesuatu yang jahat.

Sinisisme 

Sinisme dan kemiskinan asketik ada kemiripan dalam arti bahwa keduanya punya pandangan tidak baik terhadap uang. Bedanya, sinisme melihat uang sebagai faktor penting yang membuat manusia menjauhi kecenderungannya untuk hidup sesuai kehendak alam. Dalam pandangan sinisme, semakin seseorang itu menjadikan uang sebagai pusat, semakin ia menjadikan hal-hal seperti talenta, kehormatan dan keselamatan jiwa sebagai sesuatu yang bisa dikorbankan. Seorang sinis seperti Diogenes, misalnya, melihat peradaban sebagai sesuatu yang kotor, menyedihkan dan patut dijauhi. Itu sebabnya ia memutuskan untuk hidup menggelandang sampai dijuluki "si anjing" (meski sebutan ini sebenarnya punya banyak alasan dari sekadar menggelandang).

Sikap Blasé 

Sikap blasé secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap masa bodoh yang muncul akibat fokus yang terlalu besar pada uang dan hal yang berhubungan dengannya. Orang-orang dengan sikap seperti ini cenderung tidak punya kepekaan ataupun empati terhadap orang lain atau kejadian yang tidak secara langsung terhubung dengan kepentingannya. Misalnya, seseorang merasa tidak perlu untuk menolong orang lain yang terjepit pintu kereta karena lebih memilih untuk fokus mengejar jam masuk kerja yang sudah mepet.

(Tulisan di atas disarikan secara longgar dari The Philosophy of Money versi terjemahan tahun 2004 oleh David Frisby, halaman 239 - 259)

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1