Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Rasa Sakit

 
"Rasa sakit membuat kita dapat melihat kehidupan secara keseluruhan" -Sir Muhammad Iqbal

Dalam sejarah, rasa sakit selalu punya tempat. Kaum Epikurean di masa Hellenisme misalnya, menganggap bahwa kebaikan tertinggi adalah menjauhi rasa sakit. Islam sendiri memandang rasa sakit sebagai kiamat sugra atau kiamat kecil, sebuah episode partikular dari grand design bernama kiamat kubra alias kiamat besar. Lompat ke dunia medis, dari waktu ke waktu, yang dipercanggih kemudian adalah bagaimana penyakit bisa sembuh disertai minimalisasi rasa sakit. Sehingga suatu waktu saya berpikir, ketika dunia pengobatan sudah sangat canggih, mungkinkah rasa sakit kelak menjadi sejarah? Menjadi museum rasa sakit?

Namun rasa sakit juga adalah elemen penting dalam dunia keagamaan. Yesus adalah simbol rasa sakit, ia melihat rasa sakit sebagai bentuk pengorbanannya dalam menanggung dosa umat manusia. Muhammad ketika awal mula mempunyai pengikut, sering disiksa oleh kaum Quraisy. Ia pun hidup papa selama jadi pemimpin. Miskin berarti dekat dengan kesakitan, demikian common sense-nya. Siddharta Gautama pergi keluar dari istana yang hedonis, hidup berkelana tanpa wisma dan akrab dengan pergumulan yang menyiksa diri sendiri. Bahkan para pengikut mereka ada yang menjadikan rasa sakit sebagai cara untuk sampai pada tingkat spiritual tertentu (asketik), seperti yang dilakukan kaum Muslim Syi'ah pada 10 Muharram dan ordo tertentu dari Katolik yang kerap memecut diri sendiri.

Artinya, dalam peradaban manusia, rasa sakit adalah sesuatu yang dijauhi sekaligus dicintai. Bagi para nabi atau contoh-contoh manusia spiritual lainnya, rasa sakit adalah cara mereka menghayati kehidupan. Jika jiwa mereka telah menyentuh keilahian ke atas sana, maka rasa sakit mengingatkan bahwa jiwa ini masih di dalam tubuh, dan tubuh adalah milik bumi, tempat manusia berdiri. Rasa sakit adalah sebuah cara untuk mengingatkan bahwa kita ada di bawah, maka itu mendongaklah ke atas, melihat langit maha luas, tempat kita semua dinaungi. Sedangkan kebahagiaan seringkali membawa kita membubung tinggi, ke awan, dan melihat kehidupan di bawah yang kejam dan keji.

Agama dan rasa sakit berkaitan erat. Setiap agama mengajarkan kita untuk mengingat rasa sakit dengan caranya sendiri. Islam mengajarkan puasa dan shalat misalnya. Puasa jelas, ia memberi rasa lapar dan dahaga, mengakibatkan rasa sakit pada tubuh, terutama bagi mereka yang sesungguhnya sanggup makan ketika lapar dan minum ketika haus. Shalat mendisiplinkan tubuh kita, mengajak tubuh untuk melakukan sesuatu yang bukan naluriahnya. "Pemaksaan" itu juga menimbulkan rasa sakit. Buddha lebih ekstrim lagi, ia menyebutkan siklus kelahiran dan kematian kita sebagai sebuah dislokasi. Dislokasi berarti berada di tempat yang bukan seharusnya, dalam konteks tulang dan otot, itu berarti rasa sakit.

Barangkali memang rasa sakit tidak perlu dijauhi. Ia perlu ada dekat-dekat dengan kita, terutama di saat kebahagiaan terlalu membuncah dan membawa kita lupa diri. Kang Tikno, sahabat saya, mengatakan, bahwa sakit mengajarkan pada kita pentingnya istirahat. Bahwa tubuh dan jiwa sesungguhnya punya batas ketinggian. Rasa sakit mengajak kita kembali ke bumi dan mencintai keseharian. Jangan-jangan memang Tuhan tidak ada di atas sana, dijangkau oleh mereka-mereka yang terbang bersama kebahagiaan. Tuhan mungkin ada di dekat kita, menemani setiap manusia yang diterjang rasa sakit.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1