Tuhan telah mati, dalam doa bersama menjelang UN
Dibinasakanlah sifat ia yang Maha Baik
Menjadi baik untuk kelompok tertentu atas tujuan yang sempit
Tuhan telah mati, dalam ormas yang menghancurkan diskotik
Dibinasakanlah sifat ia yang Maha Memerintah
Titahnya telah dikudeta oleh gerombolan manusia
Tuhan telah mati, oleh pedang prajurit Perang Salib
Dibinasakanlah sifat ia yang Maha Esa
Karena masing-masing kubu merasa punya Satu untuk dibela
Tuhan telah mati, oleh suasana Ramadhan di sekeliling kita
Dibinasakanlah sifat ia yang Maha Luas
Menjadi sekedar acara televisi dan korden yang menutup jendela rumah makan
Tuhan telah mati, oleh pisau bernama BA-HA-SA
Ia tidak lagi meliputi seluruh keadaan
Tapi disempitkan oleh nama dan sesosok persona nun jauh di sana
O, Tuhan telah mati, kita semua yang membunuhnya!
Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip
Comments
Post a Comment