Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
"Before a man studies Zen, to him mountains are mountains and waters are waters;
after he gets an insight into the truth of Zen through the instruction of a good master, mountains to him are not mountains and waters are not waters;
but after this when he really attains to the abode of rest, mountains are once more mountains and waters are waters."
Untaian kalimat di atas adalah koan Zen yang cukup terkenal. Sebelum dibahas, saya mengingatkan diri pada novel yang dibaca sekitar dua atau tiga tahun lalu, sebuah mahakarya dari Ernest Hemingway berjudul The Old Man and The Sea (1952). Novel tidak terlalu tebal itu ceritanya sangat sederhana, tentang nelayan tua bernama Santiago yang pergi melaut setelah 84 hari tanpa menangkap ikan satu pun. Di hari ke-85, ia berhasil menangkap dua ikan marlin besar yang sekaligus juga menarik perhatian hiu-hiu untuk ikut bersantap. Santiago berjuang, bertarung melawan si hiu demi mempertahankan tangkapannya. Ceritanya begitu saja.
Yang jadi pertanyaan saya, tidakkah novelnya terlalu simpel untuk sebuah mahakarya yang dikerjakan di masa tua Hemingway? Sebagai informasi, The Old Man and The Sea adalah karya pamungkas Hemingway sebelum ia wafat tahun 1961. Hemingway sendiri bahkan tidak punya keinginan menjadikan novel ini penuh simbol atau menyiratkan makna tertentu:
"Ralat" semacam ini banyak terjadi. Maka itu ahli sejarah kerap membagi pemikiran mereka dalam dua periode besar, seperti Sartre muda dan Sartre tua, Marx muda dan Marx tua, Beethoven muda dan Beethoven tua, dst. Pada fase kehidupan tertentu, ada cara pandang dari mereka-mereka ini layaknya koan yang disebutkan di awal: Kembali melihat gunung sebagaimana gunung dan laut sebagaimana laut sebelum mereka tercerahkan.
after he gets an insight into the truth of Zen through the instruction of a good master, mountains to him are not mountains and waters are not waters;
but after this when he really attains to the abode of rest, mountains are once more mountains and waters are waters."
Untaian kalimat di atas adalah koan Zen yang cukup terkenal. Sebelum dibahas, saya mengingatkan diri pada novel yang dibaca sekitar dua atau tiga tahun lalu, sebuah mahakarya dari Ernest Hemingway berjudul The Old Man and The Sea (1952). Novel tidak terlalu tebal itu ceritanya sangat sederhana, tentang nelayan tua bernama Santiago yang pergi melaut setelah 84 hari tanpa menangkap ikan satu pun. Di hari ke-85, ia berhasil menangkap dua ikan marlin besar yang sekaligus juga menarik perhatian hiu-hiu untuk ikut bersantap. Santiago berjuang, bertarung melawan si hiu demi mempertahankan tangkapannya. Ceritanya begitu saja.
Yang jadi pertanyaan saya, tidakkah novelnya terlalu simpel untuk sebuah mahakarya yang dikerjakan di masa tua Hemingway? Sebagai informasi, The Old Man and The Sea adalah karya pamungkas Hemingway sebelum ia wafat tahun 1961. Hemingway sendiri bahkan tidak punya keinginan menjadikan novel ini penuh simbol atau menyiratkan makna tertentu:
"There isn't any symbolism. The sea is the sea. The old man is an old man. The boy is a boy and the fish is a fish. The shark are all sharks no better and no worse. All the symbolism that people say is shit. What goes beyond is what you see beyond when you know."
Artinya, pada masa tuanya Hemingway memilih tema-tema sederhana, gaya penceritaan sederhana, dan tidak perlu berusaha tampil njelimet dengan sisipan-sisipan penuh makna. Gaya yang bertolak belakang dengan setidaknya satu novel legendarisnya, For Whom The Bell Tolls yang dibuat sebelas tahun sebelum The Old Man and The Sea.
Hemingway hanya salah satunya. Banyak filsuf yang seringkali "merevisi" pemikirannya di masa tua dengan lebih sederhana. Ludwig Wittgenstein misalnya, ia menulis dua buku terkenal, yang pertama Tractatus Logico Philosophicus dan yang kedua Philosophical Investigations. Lucunya, buku kedua terang-terangan menyebutkan bahwa buku pertama yang ia tulis banyak kekeliruan. Filsuf analisis bahasa ini di buku pertama menyatakan teori gambar yaitu "Ada fakta, ada nama. Ada nama, ada fakta". Artinya, segala sesuatu yang di luar fakta, itu omong kosong. Seperti misalnya, "Dosa", "Tuhan", "Malaikat", dsb adalah entitas yang tidak ada faktanya sehingga kata-kata itu tidak punya makna. Di buku kedua ia meralat, bahwa gak gitu-gitu amat, bahasa itu juga hanya permainan. Ia bermakna dalam konteksnya, seperti permainan catur dimana sebutan "raja" bukanlah raja dalam arti sebenarnya, tapi raja yang disepakati dalam permainan. Cukup simpel, bukan?
Artinya, pada masa tuanya Hemingway memilih tema-tema sederhana, gaya penceritaan sederhana, dan tidak perlu berusaha tampil njelimet dengan sisipan-sisipan penuh makna. Gaya yang bertolak belakang dengan setidaknya satu novel legendarisnya, For Whom The Bell Tolls yang dibuat sebelas tahun sebelum The Old Man and The Sea.
Hemingway hanya salah satunya. Banyak filsuf yang seringkali "merevisi" pemikirannya di masa tua dengan lebih sederhana. Ludwig Wittgenstein misalnya, ia menulis dua buku terkenal, yang pertama Tractatus Logico Philosophicus dan yang kedua Philosophical Investigations. Lucunya, buku kedua terang-terangan menyebutkan bahwa buku pertama yang ia tulis banyak kekeliruan. Filsuf analisis bahasa ini di buku pertama menyatakan teori gambar yaitu "Ada fakta, ada nama. Ada nama, ada fakta". Artinya, segala sesuatu yang di luar fakta, itu omong kosong. Seperti misalnya, "Dosa", "Tuhan", "Malaikat", dsb adalah entitas yang tidak ada faktanya sehingga kata-kata itu tidak punya makna. Di buku kedua ia meralat, bahwa gak gitu-gitu amat, bahasa itu juga hanya permainan. Ia bermakna dalam konteksnya, seperti permainan catur dimana sebutan "raja" bukanlah raja dalam arti sebenarnya, tapi raja yang disepakati dalam permainan. Cukup simpel, bukan?
"Ralat" semacam ini banyak terjadi. Maka itu ahli sejarah kerap membagi pemikiran mereka dalam dua periode besar, seperti Sartre muda dan Sartre tua, Marx muda dan Marx tua, Beethoven muda dan Beethoven tua, dst. Pada fase kehidupan tertentu, ada cara pandang dari mereka-mereka ini layaknya koan yang disebutkan di awal: Kembali melihat gunung sebagaimana gunung dan laut sebagaimana laut sebelum mereka tercerahkan.
Namun jika demikian, apakah berarti percuma melakukan pencerahan kalau ujung-ujungnya balik ke awal? Tentu saja tidak, kata Bambang Sugiharto, "Jika kita mendengarkan kalimat 'Tuhan itu ada' dari mulut Freud, akan sangat berbeda 'ketebalannya' dengan kalimat yang sama keluar dari mulut orang-orang yang tidak pernah mencari."
Jangan-jangan perjalanan seseorang yang paling panjang justru berakhir di rumahnya sendiri. Contoh terbaik tentang ini tentu saja bapak saya sendiri. Saya ingat beliau di masa mudanya yang apruk-aprukan keliling dunia berkarya dan berkarya. Belakangan, di masa tuanya, permintaan dia menjadi sederhana: Ayo besarkan garasi rumah kita. Suatu hari saya berdiskusi dengannya, tentang mengapa kok kelihatannya bapak begitu naif dan simpel dalam berpikir. Alih-alih membuka galeri, sekarang malah memperbaiki garasi. Jawabnya, "Yang sulit dalam hidup adalah bertindak sederhana. Selalu ada godaan bagi manusia untuk tidak jadi sederhana."
Jangan-jangan perjalanan seseorang yang paling panjang justru berakhir di rumahnya sendiri. Contoh terbaik tentang ini tentu saja bapak saya sendiri. Saya ingat beliau di masa mudanya yang apruk-aprukan keliling dunia berkarya dan berkarya. Belakangan, di masa tuanya, permintaan dia menjadi sederhana: Ayo besarkan garasi rumah kita. Suatu hari saya berdiskusi dengannya, tentang mengapa kok kelihatannya bapak begitu naif dan simpel dalam berpikir. Alih-alih membuka galeri, sekarang malah memperbaiki garasi. Jawabnya, "Yang sulit dalam hidup adalah bertindak sederhana. Selalu ada godaan bagi manusia untuk tidak jadi sederhana."
Comments
Post a Comment