Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Awal Uzhara

Baru saja, pagi tadi, saya bertemu seorang tua bernama Pak Awal Uzhara. Ia adalah dosen di Jurusan Sastra Rusia yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di Rusia untuk salah satunya kuliah di bidang perfilman dokumenter. Usianya saya kira 75 tahun, tapi ternyata ia lebih tua lagi. Hal itu terungkap dari cerita yang ia paparkan sendiri, "Waktu saya bekerja di Radio Moskow tahun 1995, usia saya enam puluh tahun.." Artinya, jika dihitung, maka usia beliau sekarang 82 tahun!

Tentu saja kita tidak sedang membahas usia seseorang. Apa yang membuat saya sedemikian tertarik adalah tentang bagaimana pose Pak Awal ketika saya temui di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UNPAD. Ia sedang membaca, tenang sekali, di bawah sorot lampu baca. Tangannya meraba-raba kertas untuk membantu dirinya memerhatikan detail baris demi baris. Sesekali beliau memberikan sedikit coretan di atasnya entah berisi catatan apa. Apa yang dilakukan Pak Awal secara persis saya tidak paham, tapi yang pasti ia sedang mempelajari sesuatu secara serius. Di usianya yang senja, pemandangan ini, bagi saya, sungguh mengesankan.

Setelah lama memerhatikan, saya pun menyapa beliau. Dia tanya, kemarin kemana saja, kok tidak kelihatan? Saya jawab sedang tidak enak badan -jawaban yang kemudian saya sadari sebagai memalukan karena datang dari mulut anak muda yang harusnya jauh lebih sehat-. Langsung saja saya berikan naskah calon buku yang hendak ia bubuhkan kata pengantar sambil sekali lagi berkata maaf karena berkali-kali janji untuk jumpa tak kunjung ditepati. 

Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, tatap muka dengan beliau tak pernah sebentar. Seketika saya duduk di hadapannya, Pak Awal langsung bercerita pengalamannya puluhan tahun di Rusia. Terus menerus ia menyisipkan keprihatinan tentang bagaimana kisah-kisah mengenai negara tersebut seringkali disiarkan via CNN sehingga objektivitasnya patut diragukan. "Rusia sekarang sudah tidak komunis. Partai Komunis disana hanya peringkat dua di parlemen, itupun persentasenya kecil sekali. Jadi anggapan Rusia sama dengan komunis sudah tidak relevan," ujarnya. 

Kemudian dengan suaranya yang kecil (namun bukan berarti lemah), ia berkisah tentang seorang pujangga bernama Sergei  Alexandrovich Yesenin yang puisinya indah-indah namun sebetulnya mengritik pemerintah. Yesenin dianggap mati gantung diri, namun belakangan ternyata ada dugaan ia dibunuh oleh KGB. Pak Awal juga lompat ke cerita tentang bagaimana mayat seorang Lenin diawetkan dengan biaya besar. Sudah sempat tercetus usul untuk menguburkannya saja, tapi ditentang oleh banyak kalangan. 

Tak terasa satu jam berlalu. Kisah mengenai pengalamannya berpuluh tahun di Rusia tak semua mampu saya serap -selain disebabkan oleh gaya tuturnya yang melompat-lompat, secara fisik pun saya sedang mengantuk karena baru saja selesai mengajar kelas jam tujuh pagi-. Namun sorot mata beliau ketika bercerita tak mungkin saya lupa. Ia sangat bergairah seperti seorang anak yang baru saja bisa membaca. Tidak ada sedikitpun tersirat ia berbicara sebagai seorang guru pada muridnya. Pak Awal bercerita seperti pada dirinya sendiri. Seperti ia sedang mengenang masa mudanya yang baru saja berlalu kemarin pagi. 

Dalam ngiang cerita Pak Awal, terlintas ucapan bapak saya dalam kepala, "Pada akhirnya manusia hanya terbagi dua. Mereka yang mau belajar terus menerus dan selalu bergairah karena setiap harinya ia memulai sesuatu dari titik nol; dan mereka yang merasa cukup dan bosan karena ternyata dunia yang ia diami begitu-begitu saja."  

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1