Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Mentransfer Kebijaksanaan


 
Semester ini dapat dikatakan sebagai semester paling ideal untuk saya. Alasannya, pertama, saya diberi kesempatan untuk fokus pada satu mata kuliah saja -dan itu mata kuliah favorit saya- yaitu filsafat komunikasi. Alasan lainnya, saya mengajar filsafat komunikasi dengan berlandaskan silabus yang saya buat sendiri dan buku ajar yang saya tulis sendiri. Dalam arti kata lain, semester ini jadi semester yang benar-benar "saya". 

Ketika menuliskan ini, semester baru saja berlalu setengahnya. Di rumah, saya mengoreksi ujian tengah semester dengan perasaan yang campur aduk. Ada perasaan senang oleh sebab jawaban-jawaban yang rumit, sistematis, dan mengutip kata-kata "filsuf langitan" seperti Nietzsche atau Heidegger; Ada perasaan sedih oleh sebab jawaban-jawaban yang datang dari pengetahuan seadanya dan menganggap bahwa "filsafat itu kebebasan" sehingga bisa dijawab dengan isian apapun; Ada perasaan galau oleh sebab pertanyaan yang terus menggelayuti saya selama membaca kalimat per kalimat yang tertulis dalam lembar jawaban. Pertanyaan itu adalah, "Adakah filsafat itu dapat diajarkan?" 

Mungkin filsafat memang benar bisa diajarkan. Tidak sulit untuk mentransfer pengetahuan tentang siapa mengatakan apa, siapa dilahirkan di zaman apa, hingga mengapa si anu melahirkan pikiran anu. Sejujurnya saya pribadi menikmati jawaban-jawaban akurat dari mahasiswa yang bisa menyebutkan kapan dan dimana Marx atau Schleiermacher dilahirkan, serta apa saja yang beliau-beliau katakan dan dijadikan tagline favorit dalam sejarah pemikiran Barat. Saya sering refleks saja memberi nilai tinggi untuk jawaban yang "benar" semacam itu. Namun sekali lagi saya harus tanyakan pada diri sendiri, "Benarkah dengan demikian, mereka dapat dikatakan paham filsafat?"

Untuk menjawab itu, saya harus mengingat sebuah kalimat yang saya baca dari novelnya Herman Hesse yang berjudul Siddharta. Di buku itu tertulis, "Pengetahuan dapat diajarkan, tapi kebijaksanaan itu tidak. Kebijaksanaan, jika diajarkan, akan terdengar seperti orang bodoh." Berdasarkan kalimat Hesse tersebut, mungkin memang benar bahwa para mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan tentang filsafat. Tapi menjadi urusan yang sama sekali lain ketika ditanya apakah mereka betul-betul memahami filsafat atau tidak. Filsafat seharusnya lebih daripada sekadar "benar" di atas selembar kertas. Filsafat adalah kebijaksanaan. Filsafat adalah laku dan tindakan yang menubuh. Filsafat adalah world view. Filsafat adalah seperti kata Jostein Gaarder dalam Dunia Sophie: Cara agar manusia tidak berjalan di atas lapisan es yang tipis. Tapi jika filsafat adalah seromantis yang saya jabarkan itu, maka masalah menjadi bertambah pelik, "Adakah keseluruhan makna filsafat yang mendalam itu bisa ditransfer dalam satu semester saja?"

Pada pertanyaan terakhir itu, saya memutuskan untuk meletakkan pena yang digunakan untuk mengoreksi jawaban. Saya mundur sejenak dari meja kerja untuk melihat segalanya lebih jernih. Saya berkaca pada diri sendiri: Saya dapat dikatakan sudah belajar filsafat dari sejak kecil, dari petuah Bapak yang tidak saya pahami; saya terbiasa dengan lingkungan pemikir, dimulai dari keluarga inti saya yang semuanya adalah dosen -asumsikan saja bahwa dosen pasti seorang pemikir, walau belum tentu juga-; saya ikut kelas publik filsafat dari tujuh tahun silam dan hingga kini tetap mengikutinya; saya melahap buku filsafat hampir setiap hari dengan rasa antusiasme yang tinggi; saya rajin menuliskan renungan saya ke dalam blog ini hampir setiap muncul perasaan galau. Artinya, jika saya ingin agar mahasiswa memahami filsafat hingga ke sumsumnya, saya tidak hanya harus mentransfer pengetahuan, tapi juga: lingkungan, kesempatan, dan antusiasme. 

Pada akhirnya, aspek-aspek itu menjadi mustahil jika harus ditransfer juga. Pada akhirnya, tidak harus apa yang ada di hati dan kepala saya, menjadi harus ada di hati dan kepala mahasiswa juga. Saya harus mengingat betul kata-kata Bambang Q-Anees yang memberi saya petuah sebelum memulai karir menjadi dosen sekitar lima tahun silam. Katanya, "Mengajarlah seperti hujan. Siramilah seluruh alam tanpa kecuali. Masing-masing dari mereka akan mengambil sesuai dengan kebutuhannya. Ada tanah kering, ada tanah basah, ada petani, ada pebisnis, ada direktur, ada pepohonan, masing-masing punya kadar sendiri-sendiri dalam menerima hujan." Artinya, biarkan mahasiswa yang menerima kadar filsafat itu sesuai dengan kebutuhan hati dan kepalanya. Saya mengajar saja sepenuh hati, dengan antusiasme yang meledak-ledak seperti biasanya. Toh, tidak semua orang harus berakhir sebagai filsuf.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1