Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Penulis Seni, Pentingkah?


 

(Ditulis sebagai suplemen untuk Kelas Intensif Menulis Seni di Kaka Café, 13 Mei 2019)

Seni, Pada Mulanya 


Pada mulanya, seni bukanlah suatu kegiatan istimewa, oleh sebab fungsinya yang juga tidak bisa dilepaskan dari aspek-aspek keagamaan, sains, dan juga filsafat. Sebagai contoh, ketika puluhan ribu tahun silam, diketahui bahwa manusia melukis di dinding gua, maka itu tidak hanya kegiatan seni belaka, melainkan juga bentuk aktivitas religi (yang memerlukan bantuan dewa untuk menangkap hewan buruan) dan juga sains (dalam arti untuk menggambar itu sendiri, diperlukan penemuan saintifik dalam bentuk alat-alat).

Contoh lain yang lebih konkrit adalah patung Venus dari Willendorf yang ditemukan tahun 1908 oleh Josef Szombathy. Patung yang ditengarai berasal dari 30.000 tahun sebelum masehi tersebut, adalah perwujudan Dewi Venus sebagai dewi kesuburan, yang artinya juga bagi masyarakat setempat dianggap sebagai sesembahan.

Zaman Yunani Kuno mungkin sudah mulai ada pemikiran tentang seni sebagai suatu entitas yang terpisah, meski Aristoteles menekankan bahwa seni adalah aktivitas yang rasional sekaligus matematis, yang mana keindahan jadinya adalah tentang hal-hal yang simetris (seni dalam hal ini sudah dipisahkan dari agama, tapi ada bau sains dan filsafat). Sementara gurunya, Plato, berpikir transendental, meski tidak berbasiskan ajaran agama, dengan mengatakan bahwa seni adalah imitasi tidak sempurna dari objek yang sudah ada di dunia ide (dunia pra-eksistensi). Pada zaman Yunani Kuno tersebut, setidaknya seni mulai “independen” untuk dibicarakan secara tersendiri.

Namun posisi seni juga mengalami “naik-turun”. Pada Abad Pertengahan, perkembangan seni berlangsung sangat pesat, namun biasanya dilandasi oleh semangat-semangat keagamaan, karena pada saat itu Gereja sedang begitu dominan di Eropa. Puncak dari seni di Eropa ini dapat dikatakan berlangsung pada masa Renaisans, yaitu masa ketika Abad Pertengahan mulai tidak disukai dan semangat-semangat ketuhanan pelan-pelan diganti oleh spirit humanisme. Kita bisa menyebut nama-nama seniman besar di masa Renaisans, seperti Michaelangelo Buonarotti, Leonardo da Vinci, Raffaello Sanzia da Urbino, dan Gian Lorenzo Bernini.

Pada Abad Pencerahan, Immanuel Kant punya peran dalam membuat seni menjadi eksklusif dari fungsi-fungsi non-estetik. Menurut Kant, keindahan haruslah lepas dari segala fungsi dan kepentingan (disinterestedness), baru bisa dikatakan seni (tinggi). Jadi, bisa dikatakan, jika sebuah tangga digunakan untuk memanjat, maka tangga itu bukan seni. Tapi jika tangga itu tidak dipakai untuk apapun dan disimpan begitu saja di galeri, maka tangga tersebut jadi karya seni.

Pemikiran Kant tersebut menjadi semakin lekat dengan apa yang kita sebut sebagai seni modern, yang diperkuat dengan kredo yang diletupkan oleh Theophile Gautier yaitu “L’art pour l’art” atau “seni untuk seni itu sendiri”. Pada titik ini lengkaplah keistimewaan seni sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri, yaitu ketika seniman tidak memikirkan fungsi-fungsi lain kecuali estetika itu sendiri. 

Memang terdapat pertentangan-pertentangan dari, misalnya, aliran realisme sosialis, yang menginginkan seni harus punya fungsi bagi perubahan-perubahan sosial dan idealisme masyarakat yang komunal (baca: sesuai dengan prinsip komunisme).

Namun kredo seni modern perkembangannya tidak tertahankan, hingga seorang Prancis bernama Marcel Duchamp, di awal abad ke-20, mengajak kita berpikir ulang tentang estetika, dengan memajang tempat kencing (urinoir) di galeri. Menurutnya, pertama, keindahan bisa jadi sangat bergantung dari persepsi si apresiator, dan tidak melulu terkandung secara an sich dalam karya seni. Kedua, estetika tidak semata-mata sesuatu yang retinal atau memuaskan mata, melainkan juga, pada titik tertentu, memberikan suatu gagasan baru, mendobrak pemikiran lama, dan memprovokasi suatu pandangan yang visioner. Pernyataan tersebut bisa jadi jalan masuk bagi kita untuk memahami posisi penulis seni.

Tentang Penulis Seni 

Apa hubungannya sejarah singkat seni yang dipaparkan di atas dengan posisi penulis seni yang akan kita bahas di pertemuan sekarang ini? Kita bisa membayangkan, ketika seni masih ada kait kelindannya dengan fungsi-fungsi lain di luar estetika, maka tidak perlu kita memikirkannya panjang lebar untuk menjadi “penyambung lidah” bagi para apresiator.

Atau, ketika seni, dalam dirinya sendiri, sudah mengandung keindahan – yang sifatnya retinal, jika meminjam istilah dari Duchamp -, maka pemikiran yang berlebihan pun tidak diperlukan, karena biarkan objek itu sendiri yang “berbicara” pada si penikmat. Misalnya, kita tidak terlalu membutuhkan penulis seni, untuk memikirkan dan menjelaskan tentang apa makna, interpretasi, serta proses kreatif musik-musik di gereja, atau mozaik di jendela kaca gereja. Tentu saja bukannya tidak bisa, tapi tanpa penulis seni pun, musik dan karya rupa tersebut, akan tetap berjalan dalam fungsinya sebagai estetika yang mendukung kegiatan keagamaan.

Sementara itu, pada seni-seni yang “indah pada dirinya sendiri”, kita juga bisa mengatakan penulis seni bisa diperlukan bisa tidak. Misalnya, pada karya-karya realis, kemungkinan kita akan langsung terpesona jika sebuah lukisan mirip dengan kenyataan aslinya, tanpa harus bertele-tele dengan penjelasan. Namun tidak serta merta peran penulis seni dapat disingkirkan sepenuhnya dalam hal-hal yang disebutkan di atas. Ingat bahwa lukisan karya Da Vinci, Mona Lisa, dihargai tinggi disebabkan oleh salah satunya, senyum misteriusnya? Kita tidak bisa tahu persis apakah senyumnya benar-benar misterius atau tidak. Bisa saja, terdapat mistifikasi, yang diembuskan secara turun temurun, masif, dan akhirnya dipercaya sebagai sesuatu yang benar tentang senyum Mona Lisa.

Dalam upaya mistifikasi tersebut, mungkin saja ada peran penulis seni di dalamnya. Artinya, pertama, terdapat asumsi bahwa keindahan seni, tidak lepas dari konteks ruang dan waktu. Seni yang indah pada dirinya sendiri, sebenarnya terlepas dari aspek keterampilan si seniman, juga punya unsur eksternal lain, yaitu kontekstualisasi, yang dalam hal ini bisa “diciptakan” oleh penulis seni.

Kedua, seperti telah diungkap di atas terkait seni modern sejak abad ke-20, peran penulis seni kian diperlukan seiring dengan ekpresi seni yang semakin individual dan berorientasi pada gejolak pribadi si seniman (dulu juga bisa jadi seperti itu, tapi dulu sikap individualis tidak seperti sekarang). Penulis seni menjadi elemen penting dalam medan sosial seni sebagai elemen penting untuk, pertama, “menjembatani” ekpresi seniman dengan cakrawala pengetahuan apresiator, agar karya seni tersebut tidak hanya dapat dirasakan, tapi juga “dipahami” (tanda kutip digunakan karena pemahaman estetis kadang berbeda dengan pemahaman kognitif yang umum).

Kedua, jika “jembatan” terasa sebagai peran yang terlalu dangkal, maka penulis seni, lebih daripada itu, berperan membangun wacana-wacana yang baru dan segar, sehingga setiap bagian dari ekosistem seni, memikirkannya sebagai sesuatu yang menarik. Misalnya, kawan saya, Bob Edrian, kurator, sangat rajin menulis tentang sound art sebagai fenomena seni rupa yang “baru”, setidaknya di ranah seni rupa di Bandung. Bob secara konsisten menawarkan bunyi sebagai medium seni rupa, dan itu direnungkan tidak hanya oleh apresiator, tapi juga oleh seniman. Penulis seni semacam ini perlu dipahami sebagai bagian tidak terpisahkan dari ekosistem kesenian, dan ketiadaannya justru membuat seni menjadi kering dari dinamika pemahaman yang baru. Penulis seni tidak hanya memetakan, menawarkan, tapi juga “menyengat”.

 Penulis seni yang saya sebutkan di sini bisa jadi penulis seni dalam konteks apapun, baik kurator, peneliti, jurnalis, ataupun kritikus. Memang ada perbedaan-perbedaan peran dan titik berat antara empat contoh sub-penulis seni tersebut, misalnya, kurator lebih ada “di dalam” mekanisme seniman, karya, pameran, dan kolektor, sementara kritikus ada “di luar” dan tidak ada kepentingan dengan mekanisme tersebut. Sementara peneliti bisa “di dalam” atau “di luar”, tapi bisa jadi orientasinya tidak ke publik, melainkan pada perkembangan seni di wilayah akademik. Jurnalis, kita tahu, berorientasi ke publik, tapi kepentingannya untuk mendalami terminologi-terminologi dalam seni, beserta makna dan interpretasinya, bisa jadi tidak terlalu harus mendalam (meski tidak semua jurnalis seperti itu).

Apapun itu, menulis seni tetap mesti melalui satu disiplin dan kemauan tertentu, untuk tidak hanya mempunyai kemampuan menulis yang mumpuni, melainkan juga punya sensibilitas dan pemahaman yang kuat mengenai seni dan dunianya. Jika kita percaya seni sebagai salah satu pilar penting bagi peradaban, maka secara otomatis, penulis seni merupakan bagian di dalamnya.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1