Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tentang Bambang Sugiharto



Duduk manis di kelas Pengantar Filsafat yang diampu oleh Prof. Bambang Sugiharto, sebagai bagian dari persiapan mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR awal tahun depan. Waktu Pak Bambang bicara di depan tadi itu, pikiran saya melayang-layang karena masih ngantuk. 

Teringat di tahun 2003, kala baru lulus SMA, saya punya cita-cita masuk Fakultas Filsafat UNPAR. Saya sangat serius waktu itu, hingga suatu malam bapak berkata, "De, bapak sudah konsultasi sama teman, namanya Pak Bambang. Katanya jangan masuk situ, karena itu sekolah untuk calon pastur." 

Saya tidak banyak membantah. Karena mungkin, ada benarnya. Saya kubur saja cita-cita menjadi mahasiswa filsafat untuk masuk menjadi mahasiswa Hubungan Internasional. Tapi cinta saya pada filsafat selalu terpendam, sampai akhirnya bertemu dengan Pak Bambang di kelas Extension Course pada sekitar tahun 2006 atau 2007. 

Di pertemuan pertama dengan materi Antropologi Filsafat itu, Pak Bambang sudah mampu mengguncangkan pikiran dan iman saya. Kuliah lebih dari sepuluh tahun lalu itu masih segar dalam ingatan saya: Tentang konsep manusia dalam pandangan filsafat (secara spesifik, soal konsepsi tubuh dan jiwa). Ada kata Plato yang tubuh adalah penjara jiwa, ada kata Foucault yang jiwa adalah penjara tubuh, ada Lacan yang mengatakan tentang keinginan manusia yang selalu bercermin satu sama lain, ada kata Nietzsche yang mengatakan masing-masing anggota tubuh manusia punya kecerdasannya sendiri. Sejak malam itu, hidup saya tidak lagi sama. Filsafat adalah "one way ticket". 

Enam belas tahun sejak saya menerima kenyataan bahwa saya tidak akan menjadi mahasiswa filsafat, ternyata saya masih bisa mengejar cira-cita tersebut. Bersama para calon pastur angkatan 2019, saya ikut kelas secara sit-in, mendengarkan Pak Bambang bicara. 

Selama enam belas tahun itu juga saya membaca filsafat tanpa melalui jalur formal dan sering coba-coba mengajar juga, walau entah benar entah tidak. Namun mendengarkan Pak Bambang bicara, meski sudah keempatpuluhkalinya, tetap terasa baru dan membuat saya malu. Pak Bambang mengajar dengan suatu kecintaan yang aneh, seolah sudah menjadi tugas dia, untuk membuat para calon pastur ini deg-degan dengan iman yang terus dihantam-hantam. 

Tapi dari situlah saya belajar, jadi "filsuf profesional". Jadi filsuf yang tugas utamanya hanya satu: mengguncang apa yang telah mapan, tanpa harus secara terbuka menyebutkan posisinya ada di mana. Jika ia berhadapan dengan orang yang terlalu posmodernis, jadilah sedikit Kantian untuk mengimbangi. Jika ia berhadapan dengan orang agnostik, jadilah sedikit religius untuk mengimbangi. Itulah "profesionalisme filsafat": hal yang menjadi prinsip adalah denyut dan dinamika pemikiran itu sendiri, tanpa harus fanatik pada satu -isme. 

Lalu apa yang saya dapat dari kuliah barusan? Ya, pengantar filsafat. Mata kuliah yang bikin betah, bikin saya tidak mau beranjak: inginnya belajar pengantar saja, selama-lamanya. Karena belajar filsafat, sampai suatu titik, akan kembali tentang pengantar filsafat. Coba saja sendiri!

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1