Skip to main content

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Guido Orefice

 

Barangsiapa yang sudah pernah menonton film Life is Beautiful (La vita è bella) keluaran tahun 1997, maka katakanlah apakah itu film tragedi atau komedi?

Film karya Roberto Benigni berlatarbelakang holocaust tersebut berkisah tentang seorang pria Yahudi bernama Guido Orefice (diperankan oleh Benigni sendiri) yang menikah dengan wanita non-Yahudi bernama Dora (diperankan oleh istri Benigni, Nicoletta Braschi). Beberapa tahun kemudian setelah mereka mempunyai anak berumur empat bernama Giosuè, PD II dimulai dan orang-orang Yahudi digiring ke kamp konsentrasi. Guido dan Giosuè digiring sedangkan Dora tidak karena ia bukan Yahudi. Namun Dora memohon diri untuk diikutsertakan ke kamp konsentrasi.

Di kamp konsentrasi tersebut, Guido mencoba sekuat tenaga agar anaknya tidak tahu bahwa apa yang sedang dialaminya ini adalah sesuatu yang pedih. Holocaust sebagai salah satu lapang pembantaian massal terbesar dalam sejarah disulap Guido menjadi "game untuk mendapatkan seribu poin dengan hadiah tank" untuk Giosuè. Giosuè, dalam epilog film tersebut, baru menyadari di masa dewasanya bahwa holocaust bukanlah mainan seperti ayahnya bilang, tapi kehebatan Guido dalam berpura-puralah yang membuat Giosuè yakin bahwa kamp konsentrasi pada masa itu memang hanyalah permainan.

Kembali ke pertanyaan di atas, apakah film ini tragedi atau komedi? Karena unik, bagian mula-mula film Life is Beautiful seperti akan menggiring temanya ke arah komedi, meskipun tengah hingga belakang mulai menguras air mata.

Atau kita ubah pertanyaannya, apakah perbedaan tragedi dan komedi?

Seorang filsuf Yunani yang saya lupa namanya mengatakan, "Pada kedalaman tertentu maka akan ditemukan dua hal saja dalam kehidupan, yaitu tragedi dan komedi." Guido Orefice adalah orangnya, yang mampu melihat holocaust bukan semata-mata tragedi, tapi juga komedi. Ia memerankan keduanya, tokoh tragedi maupun tokoh komedi. Jangan-jangan tragedi dan komedi bukanlah suatu kontradiksi, bukan suatu prinsip identitas yang rumusnya "A adalah A maka itu bukan B". Tragedi adalah sekaligus komedi dan komedi adalah sekaligus tragedi. Seperti terkadang jika kita tertimpa sial yang amat pahit, pada titik tertentu kita tertawa dan berkata, "Ah, hidup itu lucu ya." Atau pada saat kita tertawa "ngakak hingga guling-guling", alangkah mudah ditemukan bahwa tertawa tersebut juga adalah bernapaskan kegetiran. Gibran bersabda dalam Sang Nabi, "Bersama-sama keduanya datang, dan bila yang satu sendiri bertamu di meja makanmu, ingatlah selalu bahwa yang lain sedang ternyenyak di pembaringanmu."

Maka itu kita tidak pernah merasa bertentangan pada dua orang dimana yang satu bilang "Hidup itu pahit" sedang yang satu lagi "Hidup itu indah". Karena keduanya sama benar, hidup memang satu kesatuan harmoni antara tragedi dan komedi.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1