Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Jang,
Jika mengenangmu saya selalu senang karena minum es teh selalu ngutang. Tidak ada perasaan dosa kalaupun tak dibayar karena kamu anak muda tak kenal dosa. Kamu anak muda hanya tahu gembira dan berkata-kata. Berkata-kata tentang apa saja yang lewat di depanmu ketika duduk bercengkrama di sebuah foodcourt hanya dengan rokok dan teh botol: Perempuan, kakek tua, perempuan, minuman, perempuan, makanan, bapak-bapak, dan perempuan.
Jang,
Mari mengenang lebih jauh ketika kamu dan dua orang kawan susumputan di kuburan. Mengisap Djarum Coklat sambil celingukan sebagai bentuk aksi bentrok pertama dengan norma-norma. "De, darimana pulang sekolah kok sore amat," tanya Mamah. Kata kamu, "Kerja kelompok, Mah, di rumah si Kautsar!" Sekarang akan saya kasitahu kamu, Jang. Ibumu tahu kamu bohong, selalu tahu! Tapi wajahmu yang lugu dengan celana biru terlalu mengharukan untuk ditampiling.
Jang,
Mari dengan asyik mengenang masa malam mingguan. Yang lain senang-senang, kamu mah goblok jang kalahka gigitaran. Yang lain berkendara sambil nyetel Limp Bizkit sampai gogorowokan, kamu mah main gitar klasik lagu Greensleeves. Garing, Jang, garing! Tapi pembelaanmu bagus juga, kalau bukan malem minggu, kapan lagi punya waktu pacaran sama gitar?
Jang,
Kamu sebentar lagi tinggal kenangan. Karena saya, Jang, bertambah usia. Kamu bilang saya bohong, Jang? Memang iya, hehe, karena sebenarnya saya jatuh cinta pada seseorang. Yang ini beda, Jang, bukan seperti dulu yang mana tujuan saya pacaran cuma biar dianggap keren sama teman-teman. Ini bukan cuma biar tidak jadi bahan omongan sama anak muda yang nangkring di foodcourt dengan teh botol. Ini cinta, Jang, cinta, apakah kamu ngerti kalau saya jelaskan?
Sekarang kamu sedang tertawa karena kamu merasa paling ngerti soal cinta. Kamu mau bilang pada saya kalau cinta di waktu lajang betapa asyiknya karena yang terpikirkan hanya mabuk bersama dunia. Kamu mau bilang pada saya kalau cinta di waktu lajang betapa asyiknya karena susumputan ketika bapak ibu sedang tidak ada.
Kamu benar, Jang, memang cinta yang ini belum tentu seasyik itu. Dan cinta yang ini bisa habis di tengah jalan. Tapi, Jang, entah kamu bisa mengerti atau tidak perkataan saya yang berat ini: Semua hal di dunia ini akan habis sebagaimana kamu yang bergairah juga sebentar lagi tinggal kenangan. Yang tersisa tinggal janji dengan yang namanya mati. Sekali ia menagih, harus jadi! Alangkah senangnya, Jang, ketika debt collector datang, kamu sedang ditemani seseorang.
Jika mengenangmu saya selalu senang karena minum es teh selalu ngutang. Tidak ada perasaan dosa kalaupun tak dibayar karena kamu anak muda tak kenal dosa. Kamu anak muda hanya tahu gembira dan berkata-kata. Berkata-kata tentang apa saja yang lewat di depanmu ketika duduk bercengkrama di sebuah foodcourt hanya dengan rokok dan teh botol: Perempuan, kakek tua, perempuan, minuman, perempuan, makanan, bapak-bapak, dan perempuan.
Jang,
Mari mengenang lebih jauh ketika kamu dan dua orang kawan susumputan di kuburan. Mengisap Djarum Coklat sambil celingukan sebagai bentuk aksi bentrok pertama dengan norma-norma. "De, darimana pulang sekolah kok sore amat," tanya Mamah. Kata kamu, "Kerja kelompok, Mah, di rumah si Kautsar!" Sekarang akan saya kasitahu kamu, Jang. Ibumu tahu kamu bohong, selalu tahu! Tapi wajahmu yang lugu dengan celana biru terlalu mengharukan untuk ditampiling.
Jang,
Mari dengan asyik mengenang masa malam mingguan. Yang lain senang-senang, kamu mah goblok jang kalahka gigitaran. Yang lain berkendara sambil nyetel Limp Bizkit sampai gogorowokan, kamu mah main gitar klasik lagu Greensleeves. Garing, Jang, garing! Tapi pembelaanmu bagus juga, kalau bukan malem minggu, kapan lagi punya waktu pacaran sama gitar?
Jang,
Kamu sebentar lagi tinggal kenangan. Karena saya, Jang, bertambah usia. Kamu bilang saya bohong, Jang? Memang iya, hehe, karena sebenarnya saya jatuh cinta pada seseorang. Yang ini beda, Jang, bukan seperti dulu yang mana tujuan saya pacaran cuma biar dianggap keren sama teman-teman. Ini bukan cuma biar tidak jadi bahan omongan sama anak muda yang nangkring di foodcourt dengan teh botol. Ini cinta, Jang, cinta, apakah kamu ngerti kalau saya jelaskan?
Sekarang kamu sedang tertawa karena kamu merasa paling ngerti soal cinta. Kamu mau bilang pada saya kalau cinta di waktu lajang betapa asyiknya karena yang terpikirkan hanya mabuk bersama dunia. Kamu mau bilang pada saya kalau cinta di waktu lajang betapa asyiknya karena susumputan ketika bapak ibu sedang tidak ada.
Kamu benar, Jang, memang cinta yang ini belum tentu seasyik itu. Dan cinta yang ini bisa habis di tengah jalan. Tapi, Jang, entah kamu bisa mengerti atau tidak perkataan saya yang berat ini: Semua hal di dunia ini akan habis sebagaimana kamu yang bergairah juga sebentar lagi tinggal kenangan. Yang tersisa tinggal janji dengan yang namanya mati. Sekali ia menagih, harus jadi! Alangkah senangnya, Jang, ketika debt collector datang, kamu sedang ditemani seseorang.
surat yg sangat menarik :)
ReplyDelete:) lucu...
ReplyDelete