Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Prasasti FM 2011


Hari ini, 27 Februari 2012, adalah hari yang amat penting. Di sela-sela penampilan di acara seminar biomedik di ITB tadi, saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat lapak DVD games untuk komputer di trotoar Jalan Ganesha. Saya dengan sangat berhati-hati memutuskan untuk membeli permainan yang saya yakini lebih jahat dari narkoba: Football Manager. Saya membeli edisi terbaru yaitu Football Manager 2012 (FM 2012) yang sebetulnya sudah rilis dari November kemarin. Namun akibat saya tahu betapa bahayanya game tersebut, saya beberapa kali menunda pembelian hingga akhirnya tadi luluh juga karena jarak antara saya dan lapak sudah sedemikian dekat.

Sampai rumah, saya langsung install game tersebut dan tidak mendapat kesulitan apapun untuk langsung memulainya. Namun setelah beberapa saat, hati saya mendadak sedih. Saya ingat bahwa di edisi FM sebelumnya (FM 2011), saya masih berkiprah. Akhirnya saya kembali ke FM 2011 untuk sejenak menutup karir setelah sempat mengabadikan beberapa tampilan yang menunjukkan capaian demi capaian saya di game tersebut.

Entah kenapa, di profil tertulis saya kelahiran 1984 padahal saya yakin saya tidak pernah salah menulis tahun kelahiran yang harusnya 1985. Sehingga di tahun 2032, umur saya sudah 47 tahun! Saya memulai karir sebagai pelatih Udinese dan pernah memenangkan Serie A kalau tidak salah di musim kedua. Setelah Udinese, saya dilirik AC Milan dan sukses besar di sana. Kalau tidak salah saya menghabiskan sembilan musim dengan hanya kehilangan tahta Serie A dua kali. Di Milan juga saya berjumpa dengan pemain kesayangan yang saya sudah anggap seperti anak sendiri: Alexey Rudenok.

Saking sayangnya pada Rudenok, saya begitu ingin memboyong dia ketika saya direkrut Real Madrid. Sayang manajemen AC Milan mempertahankannya mati-matian. Tapi saya tidak menyerah, demi melihat Rudenok pensiun di klub yang saya bina, saya rela merekrutnya di usia cukup senja, 33 tahun. Rudenok pun menurut pengakuannya, jatuh cinta pada saya.

Saya pernah menangani timnas tiga kali, yaitu Italia, Argentina, dan kembali lagi ke Italia. Dua timnas pertama gagal total, tapi comeback ke Italia kedua kali saya berhasil mempersembahkan trofi Piala Eropa. Selepas melatih Real Madrid selama kurang lebih tiga tahun dan mempersembahkan dua gelar La Liga, saya mencoba tantangan baru dengan pindah ke klub rival, Atletico Madrid. Justru disitulah karir kepelatihan saya mulai turun. Meski mempunyai amunisi pemain cukup dahsyat, tapi ternyata Real Madrid -yang baru saja saya tinggal- masih lebih kuat.

Keterpurukan semakin menjadi setelah saya melabuhkan diri di klub favorit, Barcelona, yang waktu itu justru kerap berada di bawah El Real dan Atletico. Ternyata membangun El Barca sepeninggal generasi Messi dkk. adalah pekerjaan mahaberat. Akhirnya saya mengundurkan diri dari dunia sepakbola di musim ketiga menangani Barcelona tanpa sempat memberikan gelar.
 
Dalam postingan ini saya cuma ingin bercerita. Saya tidak mau memaknai yang terlalu jauh karena jika ditelusuri, saya sudah pernah membahas filosofi FM dua kali di blog. Saya cuma ingin bersentimentil ria, kadang-kadang membayangkan punya hidup sebagai orang lain itu ada indahnya.

Terima kasih Macheda, Isla, Inler, Rudenok, Neymar, Marcio, Angloma, Marciano, Cosentini, Leandro, Fabbri, Zunino, Ferreira, Giorgi, dan rekan-rekan semuanya!


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1