Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Terima kasih sebelumnya pada sahabat saya, Kang Trisna yang memberi buku To Kill a Mockingbird sebagai kado ulangtahun. Bukan buku yang mudah untuk diselesaikan. Saya perlu hampir empat bulan untuk mengakhiri dengan perasaan yang tercerahkan. Hanya beberapa jam setelah membaca novelnya, saya menyambangi filmnya dengan judul yang sama. Film yang digarap tahun 1962 (dua tahun setelah novelnya terbit) itu menguatkan imaji saya tentang seorang tokoh yang disebut sebagai salah satu pahlawan terbaik dalam sejarah perfilman Amerika: Atticus Finch.
Atticus Finch adalah tokoh sentral dalam buku To Kill a Mockingbird. Pengacara sekaligus orangtua tunggal bagi dua anaknya yang masih kecil-kecil. Filmnya menurut saya sangat sukses mengejawantahkan figur Atticus ke tampilan visual. Penampilan Gregory Peck begitu karismatik dan persis seperti apa yang saya bayangkan (Dari novel ke film biasanya mengandung kekecewaan, salah satu yang saya ingat adalah Audrey Tatou yang memerankan detektif Sophie Novou di Da Vinci Code).
Yang cukup disoroti dari peran Atticus tentu adalah sebagai pengacara yang membela orang kulit hitam bernama Tom Robinson. Ia menerima resiko dibenci oleh hampir semua penduduk oleh sebab pembelaannya itu. Wajar jika ia merasa terdesak, pun anak-anaknya, karena kota yang mereka tinggali kecil (namanya Maycomb) dan hampir satu sama lain saling kenal.
Apa yang saya pelajari dari sosok Atticus bukanlah semata-mata keteguhannya membela kaum minoritas meski di bawah tekanan. Namun saya demikian kagum pada bagaimana caranya membagi peran antara pekerjaan dan keluarga. Ia membesarkan kedua anaknya yang sedang rajin-rajinnya bertanya macam-macam, dengan kasih sayang seorang ibu. Atticus mengajari Jem dan Scout membaca, menemani mereka menjelang tidur, sekaligus juga harus rela menjadi tontonan kedua anaknya ketika wajah ia diludahi seorang penduduk Maycomb. Demi menjaga mata anak-anaknya dari pemandangan masa kecil yang kurang sedap, ia hanya menyapu mukanya dan berusaha tetap tegar tanpa melawan.
Atticus, bagi saya, menjadi suatu prototip bagaimana konsekuensi menjadi dewasa. Ternyata pada tahap tertentu, saya tidak bisa hidup dalam satu persona untuk segala hal. Ternyata menyesuaikan diri untuk menjalani multiperan dalam berbagai situasi adalah kebijaksanaan tersendiri. Manusia tidak bisa jadi pengacara saja, bapak saja, anak saja, kawan saja, sahabat saja, orang baik saja, penjahat saja. Ia memiliki seluruh peran itu sekaligus, dan pada akhirnya tergantung kebijaksanaan kita mau membuka katup yang mana untuk situasi yang mana.
You never really understand a person until you consider things from his point of view, until you climb inside of his skin and walk around in it. -Atticus Finch
Comments
Post a Comment