Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Dilema Joker


Dalam film Dark Knight (2008), tampil seorang antagonis yang cukup menarik simpati, ia adalah Joker (yang diperankan secara dramatis oleh almarhum Heath Ledger). Salah satu musuh bebuyutan Batman ini, ditampilkan dengan karakter khasnya, sedikit gila dengan "rasa humor yang sadistik". Jika saya bicara atas nama common sense, maka penampilan Joker versi Dark Knight ini adalah yang paling "mengganggu" dalam artian terus menerus terngiang di kepala karena sedemikian kuat tampilannya (setujukah jika saya bilang Joker dalam film tersebut masih lebih asyik diapresiasi daripada si Batman-nya sendiri?).

Dalam film tersebut, ada adegan dimana Joker menunjukkan gejala kegilaannya dengan menempatkan dua kapal feri dalam sebuah dilema. Penumpang kapal itu, yang satu bermuatan penumpang umum (civilians), yang satu lagi berisikan para narapidana. Pada dua feri itu disimpan bom yang mana pada masing-masing kapal diberi pemicunya: kapal penumpang umum punya pemicu bom kapal tahanan, kapal tahanan punya pemicu bom kapal penumpang umum. Joker memberi syarat pelik:

1. Jika ada yang mencoba kabur, kedua kapal akan diledakkan.
2. Jika masing-masing pemicu tidak ada yang ditekan hingga jam 00.00, maka kedua kapal akan diledakkan.

Ini adalah sebuah problem etika yang dilematis: Aku yang meledakkan dia untuk menghindari resiko dia meledakkan aku, atau aku justru membiarkan dia meledakkan aku untuk menghindari perasaan bersalah atas pembunuhan? Atau, mari kita meledak bersama agar tiada satupun yang dipersalahkan?

Mari kita bedah kasus ini menurut pemikiran etika beberapa filsuf:

  • Immanuel Kant menggunakan imperatif kategoris. Artinya, berbuatlah sesuatu seolah-olah apa yang kamu lakukan menjadi maksim untuk hukum universal. Kant bisa menjawab bagaimana seorang polisi tetap jujur meski dalam lingkungan yang korup. Menurut Kant, itu karena sang polisi mempunyai keyakinan bahwa yang ia lakukan adalah baik jika diterapkan secara universal. Berdasarkan etika Kantian ini, saya tidak bisa menemukan sebuah solusi untuk dilema Joker. Kalau kamu ada di posisi feri itu, mana yang kamu pikir baik untuk hukum universal? Meledakkan atau diledakkan? Etika Kant dalam kasus ini agak terlalu naif.
  • Jean Paul Sartre menekankan ketiadaan etika dengan merumuskan etika baru: Semuanya bebas selama bertanggungjawab. Memilih meledakkan ataupun diledakkan adalah pilihan free-will manusia karena "man are condemned to be free", tapi pertanyaannya, bagaimana cara kita mempertanggungjawabkannya? Maksudnya, apakah sebebas yang Sartre bayangkan? Apakah tidak ada sedikitpun pertimbangan-pertimbangan lain yang bertentangan dengan kebebasan itu sendiri -dalam kondisi dilematis semacam itu-?
  • Utilitarianisme bicara kuantitas, makin banyak yang diuntungkan makin baik. Tapi diantara kedua awak kapal feri itu, tidak ada yang tahu jumlah penumpang di kapal feri lainnya. Jika berdasar utilitarianisme, sederhana saja, jika semisal kapal tahanan hanya 50 orang, maka sudah seharusnya dia yang diledakkan jika ternyata di kapal civilians ada 100 orang.

Jika kita bertanya pada agama (divine command), maka terang saja agama mengajarkan jangan membunuh. Ini agaknya mulai dekat dengan apa yang saya maksud. Saya akan coba tarik ke wilayah filosofis dengan mempertimbangkan dilema Joker sebagai altruisme versus egosme. Altruisme mengajarkan bahwa apa yang baik adalah yang berfaedah bagi sebanyak mungkin orang selama yang dirugikan adalah kita sendiri. Egoisme adalah persis kebalikannya: Diri sendiri berfaedah itu lebih baik meski yang dirugikan adalah orang banyak.

Pertimbangan-pertimbangan di ataslah yang kemungkinan besar mengganggu para pemegang picu bom: Apakah aku harus bersikap altruis atau egois? Sikap altruis akan membebaskan seseorang dari perasaan-perasaan bersalah meski harus menanggung derita (Nabi-nabi termasuk altruis). Namun tidak semua orang yakin dengan kebahagiaan altruis, maka itu menjadi egois adalah jalan yang cukup fair untuk meraih kebahagiaan. Kalau aku berikan makanan ini ke dia yang sedang lapar, nanti bagaimana jika aku kelak kelaparan? Apakah tidak sebaiknya aku makan ini dan kemudian dia memikirkan bagaimana mengatasi laparnya sendiri?

Pertimbangan "Jangan membunuh, walaupun dengan resiko terbunuh" juga merupakan sikap altruis tersendiri dalam dilema Joker tersebut. Pada wilayah yang lebih dalam, altruis bagi saya adalah sekaligus sikap mencintai kehidupan secara tulus tanpa pamrih. Seorang altruis mungkin tidak pernah betul-betul menderita. Ia mendapatkan kebahagiaan dari posisinya sebagai "martir".

Seorang ibu adalah contoh altruis yang sedemikian konkrit. Ibu mengurusi anak, suami, dan rumah tangga, dengan semangat altruistik yang sedemikian amor fati, fatum brutum. Namun disitu justru letak keutamaannya. Kata Kierkegaard, harus ada penundaan untuk satu kesenangan sementara, agar mendapatkan kebahagiaan yang lebih luas. Agama dengan santai memberi hadiah bagi para altruis dengan kebahagiaan tak terbatas di kemudian hari. Yang tidak beragama bagaimana nasibnya? Jika pun mereka tidak percaya surga, pasti ada sesuatu yang "sama-sama absurd" untuk dijadikan landasan pembenaran altruistik-nya. Entah itu atas nama Kebahagiaan, Kebenaran, atau Kebebasan.

Akhir cerita, kedua awak kapal menyerahkan dirinya pada altruisme. Keduanya selamat, meski campur tangan Batman hadir disana.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1