Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Rekonstruksi Yunani Purba

untuk Jasiaman Christian Damanik

Tadi sore saya berkunjung ke rumah yang sedang ditinggali seorang kawan, namanya Jasiaman Damanik atau biasa dipanggil Jazzy. Maksud pertemuan itu tidak lain karena saya ada beberapa pertanyaan soal pelajaran logika, dan kebetulan Jazzy adalah sama-sama juga pengajar mata pelajaran logika. Hanya saja, ketika tahu Jazzy mengajarkan pelajaran sulit itu pada anak SMP, maka saya terkagum-kagum, karena pasti dibutuhkan semacam "kerja dua kali" untuk mengejawantahan sebuah ilmu yang relatif kompleks untuk pemahaman anak SMP yang tentu saja belum sekompleks mahasiswa-mahasiswa yang saya ajar.

Rumah itu, harus saya ceritakan. Saya duduk di sofa abu panjang di ruang tamu yang luas. Cahaya lampunya temaram dengan kaca yang menembuskan pemandangan ke luar, ke kebun yang hijau. Suasananya, secara metafisik, begitu akademis. Terasa sekali diisi oleh orang-orang yang senang berpikir. Jazzy membubarkan kekaguman saya pada si rumah dengan menyuguhkan tiga buku tebal nan "dingin" berjudul Introduction to Logic. Dari situ kami duduk berhadapan, mulai berbincang, tanpa melupakan satu bagian terpenting: teh rasa mint dengan cake pisang-kismis.

Lalu kami mulai berbincang. Topiknya sama sekali tidak asyik: Logika Aristotelian. Tidak hanya itu, Jazzy juga berbagi tentang logika Russell dan Frege. Cara-cara menciptakan dilema baik yang konstruktif maupun destruktif, hingga soal silogisme, sorites, dan proposisi hipotetikal. Obrolan tersebut berujung pada kesimpulan: Bagaimana mungkin seorang Aristoteles punya waktu untuk memikirkan ini semua, apakah ia seorang pengangguran yang tidak ada kerjaan? Pemikiran atas Aristoteles itu justru membawa kami melihat diri kami sendiri saat itu: Lihatlah kami, seperti Aristoteles yang tidak ada kerjaan. Hanya duduk, minum teh di sofa dengan latar ruang tamu besar, dan membicarakan ide-ide.

Barangkali inilah rekonstruksi Yunani Purba. Ketika seluruh pekerjaan kasar dilakukan oleh para budak, maka para citizen mencari masalah-masalah baru dengan mempertanyakan dunia. Seperti Thales yang melontarkan suatu proposisi yang kurang kerjaan, "Alam semesta ini jangan-jangan dari air." Saya tidak persis menyamakan obrolan kami seolah-olah mengisyaratkan sudah ada budak yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar kami, tapi sungguhlah bahwa bukan kemampuan intelektual yang membawa kami ke ranah logika Aristotelian. Yang membawa kami adalah teh mint dan cake itu tadi. Sebuah "kemewahan" yang bisa dianalogikan dengan "ketiadaan masalah" Yunani Purba.

Saya ingin mencoba merumuskan sesuatu pasca perbincangan kami tadi: Bahwa seyogianya setelah segala kebutuhan badani terpenuhi, manusia seharusnya punya keleluasaan untuk membicarakan ide-ide. Tapi ini fakta, masih banyak manusia, yang meski kebutuhan badani sudah terpenuhi, bahkan untuk waktu yang panjang ke depan, dia masih membicarakan hal-hal badaniah seperti menumpuk kekayaan atau mempertahankan kekuasaan. Pada titik ini, saya pribadi merasa malu pada pribadi seperti Yesus, Muhammad, Gandhi ataupun Marx. Dalam kondisi lapar -tentu saja tanpa teh mint dan cake-, mereka sanggup merumuskan ide-ide yang dipraktekkan sepanjang masa.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1