Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Catatan tentang Pertunjukan Hades Fading, NuArt Sculpture Park, 30 Agustus 2019
Sebelum membicarakan pertunjukan Hades Fading, saya merasa harus mengekspresikan kekaguman pada kebudayaan "Barat" - atau bahasa ilmiahnya, Indo-Arya -, oleh sebab mitologinya yang begitu rumit dan sistematis. Mitologi Yunani adalah salah satu contohnya, selain yang saya tahu, Skandinavia, yang memperlihatkan suatu tesis asal muasal mengapa "Barat" kemudian menjadi punya cara pikir yang menuntut bangunan argumentasi yang jernih sekaligus kokoh.
Mitologi Yunani dibangun oleh cerita yang banyak dan bertalian satu sama lain. Cerita yang umumnya sampai ke kita, misalnya tentang Zeus, Hades, dan Poseidon, adalah bagian kecil dari semesta mahabesar yang salah duanya tertuang dalam tulisan Homer yang berjudul Iliad dan Odyssey. Kita bisa menemukan cerita lain seperti kisah para manusia setengah dewa macam Hercules, Perseus, Theseus, atau Achilles. Serta para raksasa (titan) macam Cronus dan Atlas.
Pertunjukan kemarin, Hades Fading atau "Hades Memudar", jelas merupakan potongan kisah dalam mitologi Yunani, yang garis besarnya adalah kisah cinta Orpheus dan Eurydice. Kisah cinta tersebut melibatkan Hades, raja dunia bawah tanah atau neraka atau Tartarus, dengan istrinya, Persephone.
Tidak ada yang diubah oleh sutradara asal Australia, Sandra Fiona Long, tentang kisah tersebut. Demikian ia tetap mengisahkan sebagaimana ditulis dalam mitologi: Kisah ratapan Orpheus yang begitu pedih akibat ditinggal istrinya, Eurydice, yang mati digigit ular di hari pernikahannya. Begitu sedihnya Orpheus hingga nyanyiannya terdengar hingga dunia bawah, pada Hades dan Persephone. Hades dan Persephone kemudian mengajukan syarat agar Eurydice dapat bangkit kembali, dan sisanya silakan dibaca sendiri di literatur tentang mitologi Yunani.
Bedanya adalah, tentu saja, pertunjukan kemarin disajikan secara kontemporer. Tata cahaya, tata panggung, tata suara, semuanya tampak "baru" bagi saya, terlebih lagi ketika dileburkan dengan aspek-aspek digital. Tapi tentu saja, bukan cuma kemasan saja yang membuat cerita mitologi tersebut menjadi menarik, melainkan juga kontekstualisasi dari kisah Hades tersebut pada situasi sekarang.
Agaknya, dengan term-term digital yang juga dilibatkan dalam pertunjukan tersebut, Sandra selaku sutradara ingin membawa penonton untuk merenungkan: Jika neraka Hades sudah tidak lagi menakutkan bagi dunia posmodern sekarang ini, maka ada neraka lain yang menanti, yang berupa memudarnya memori, dan diganti oleh interpretasi-interpretasi baru yang diproduksi oleh kesadaran massal yang digital.
Tokoh Hades, Persephone, Orpheus, dan Eurydice mungkin tidak lagi menarik di mata generasi masa kini, dan dalam pertunjukan tersebut tersirat suatu perasaan khawatir dari mereka-mereka, bahwa suatu saat dunia ke depan akan menafsir mereka secara sewenang-wenang. Inilah mungkin yang dimaksud dengan "memudar": berkurangnya pengaruh suatu literatur yang telah begitu agung menggerakkan peradaban selama ribuan tahun. Pada akhirnya tinggal kenangan, bagai kisah cinta Orpheus dan Eurydice itu sendiri.
Secara keseluruhan, meski pertunjukan tersebut dapat dikatakan sangat filosofis (sehingga saya asumsikan tidak terlalu mudah dipahami, terutama bagi mereka yang belum membaca mitologi Yunani) namun agaknya penonton banyak terpukau oleh efek cahaya, musik, dan tentu saja akting dari para pemain teater kawakan seperti Godi Suwarna, Herliana Sinaga, Rinrin Candraresmi, dan Wawan Sofwan.
Musik yang ditata oleh Ria Soemardjo juga menarik dan mengandalkan bebunyian, yang mendorong pemusik guzheng, Sisca Guzheng Harp, untuk bereksplorasi melampaui kebiasaan bermusik secara konvensional. Musik tersebut secara umum berhasil membuat 90 menit pertunjukan terasa singkat, karena begitu menghanyutkan penonton pada situasi "Tartarus" - saya belum pernah ke sana, tapi mungkin saja seperti itu-.
Akhirul kata, sepertinya penting untuk menyajikan lebih banyak teater yang demikian ke hadapan khalayak kita, sebagai teater yang memprovokasi penonton untuk memikirkan sesuatu secara aktual, dengan menyuling cerita dari literatur yang sudah dikenal.
Digitalisasi adalah isu kontemporer yang dibahas di setiap jengkal hidup kita. Seminar dan kuliah umum mungkin sudah terlalu banyak kita dengarkan sampai tidak ada lagi yang tersisa. Tapi teater adalah suguhan yang segar, yang menciptakan tegangan antara keharuan, kengerian, dan kekaguman dalam satu paket yang nyaris tidak berjarak, dan daripadanya kita merefleksikan kehidupan.
Saya pulang dengan pertanyaan besar, pada Orpheus yang tidak sabaran, mengapa engkau terlalu cepat menoleh ke belakang?
Comments
Post a Comment