Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

The Curious Case of Benjamin Button: Memuda itu Biasa

Film ini sungguh absurd, non-sensical, dan menggelitik kesadaran. Alkisah, seorang wanita berumur 81 tahun bernama Daisy sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Nenek itu bercerita lirih pada putrinya yang berusia 37 tahun, bernama Caroline. Flashback pun dimulai. 11 November 1918, di saat bersamaan kala orang-orang di New Orleans merayakan berakhirnya PD I, lahirlah bayi yang digambarkan tak wajar dan buruk rupa. Ayahnya, Thomas Button, enggan mengurusnya dan menyimpannya di sembarang tempat. Akhirnya bayi itu dipungut oleh seorang perawat kulit hitam bernama Queenie. Setelah diperiksa dokter, ternyata kondisi bayi yang kelak dinamai Benjamin itu, persis seperti kakek berusia 85 tahun.

Ketaklaziman pun dimulai, tak seperti makhluk hidup umumnya yang bertumbuh menjadi tua, Benjamin justru tumbuh muda. Baginya, waktu berjalan mundur. Dalam perjalanan menjadi muda itu, ia bertemu dengan seorang pelaut bernama Captain Mike. Oleh Mike, diajarilah Benjamin, orangtua itu, bekerja di kapal, minum alkohol, dan berhubungan seks dengan pelacur. Ada percakapan yang menggelikan disana, kala Mike bertanya, "Ben, berapa kali kau berhubungan dengan wanita sepanjang hidupmu?" Benjamin, yang kala itu berusia sekitar 15 tahun, -tentu saja baginya waktu mundur, sehingga nampak seperti 70 tahun- menjawab, "Belum pernah," "Ben, ini hal yang paling menyedihkan yang pernah saya dengar, kau, seorang kakek, belum pernah berhubungan dengan wanita seorang pun?" Tentu saja ini hanya sebagian kecil keganjilan yang ditampilkan sepanjang film berdurasi dua jam setengah itu. Masih banyak lainnya, terutama kisah cintanya dengan Daisy, yang mana ia temui kala dirinya berusia 73, dan Daisy baru dua belas. Perbedaan alur waktu keduanya menjadikan kisah cinta itu menarik. Ben semakin muda dan gagah perkasa, Daisy bertambah tua lagi renta. Lebih jauh lagi, kala Daisy sudah jadi nenek, Ben adalah seorang anak yang baru jerawatan. Akhirnya, Ben meninggal di ayoman Daisy dalam keadaan bayi. Kesan Daisy kala itu, yang menarik, "Bahkan dalam tatapan seorang bayi, Ben masih mengenalku."

Tulisan ini bukan tentang review film, sebenarnya. Ini bukan persoalan rekomendasi. Karena jujur, alur film itu agak membosankan dan terlalu panjang. Saya sedang mencoba memaknai saja, tidakkah kasus Ben tak seberapa curious? Maksudnya, secara fisik, tentu iya, tapi tidakkah kita semua selalu rindu menjadi muda, rindu untuk grow younger? Tidakkah juga, banyak dari kita yang sesungguhnya takut menjadi tua, meski itu alamiah? Tapi tak hanya soal kerinduan semata, seringkali faktanya, memang banyak unsur dari kita yang selalu dijaga untuk secara konsisten memuda. Mungkin oh mungkin, penuaan justru membuat kita semakin canggih untuk memaknai pemudaan. Seorang kakek akan lebih mudah berlagak bak bocah ingusan ketimbang anak remaja menirukan jompo mengisap cangklong. Persoalannya barangkali cuma etika dan kepantasan. Oh, bayangkan jika itu tiada, menggelegaklah mereka, para kakek. Dirgahayu. Panjang umurmu.

Comments

  1. Untung sekarang produk komestik anti-aging udah banyak y..wkkk

    "I want to Grow Old with the woman I Loved"
    :)

    ReplyDelete
  2. gw malah ngarep2 kapan jadi dewasa dan nggak rindu masa abg gw sama sekali, rif. hahahaha. i'm not afraid to grow older.

    ReplyDelete
  3. @pointlessmind: Kerinduan mungkin bukan dipikirkan, sar, tapi dia akan datang menyelinap tanpa lu sadari. Memuda itu ga selalu ke fase abg kali yah, bisa juga ke fase TK, SD, bayi atau bahkan tak dilahirkan sekalipun!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1