Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Tiga Kritik terhadap Agama



Kau tahu, menulis posting ini tidaklah mudah. Pertama, tidak semua orang senang membicarakan agama sebagai bahan kritisi. Ini untuk mereka yang yakin betul bahwa agama berasal dari Tuhan, dan Tuhan adalah kebenaran yang tak terdebatkan. Kenapa? karena mereka menganggap Ia berada di luar wilayah pemahaman manusia, dan cuma bisa dicerap oleh rasa percaya alias iman. Kedua, tidak mudah juga mengkritisi agama, jika kau adalah bagian yang lekat darinya berpuluh tahun lamanya. Ini sama saja dengan mendadak berbicara lancang pada orangtuamu, -yang telah membesarkan dan menyekolahkanmu dari kecil- memberinya komentar dan saran tentang bagaimana cara membesarkan anak yang baik, padahal kau belum punya anak. Tapi kelancangan tak selalu soal benci, adapun justru karena kau sayang. Kau sekedar ingin menunjukkan pada orangtuamu:

Mah, Pah, ini aku, sudah kau sekolahkan, dan ini ilmunya kugunakan, untuk berbagi sesuatu yang mungkin saya tahu dan kalian tidak tahu, sebagaimana halnya kau sudah memberikan banyak hal yang kau tahu dan saya tidak tahu.
Karena, o, kendati kalian hidup lebih lama, tapi pengalaman indrawi kita berbeda.

Begitulah, meski ada niat saling memperkaya, tapi selalu saja ada tendensi yang berbeda. Tuduhan lancang, tak tahu diuntung, durhaka, atau bodoh, pastilah ada. Hanya saja, ini niat saya, bahwa saya mengajukan kritik ini karena rasa cinta saya terhadap agama, sebagaimana cinta saya pada kedua orangtua. Suatu cara pengejawantahan cinta yang tidak umum barangkali, karena cinta biasanya bertalian erat dengan "menerima apa adanya". Namun saya tak bisa serta merta demikian, setiap sadar saya dianugerahi nalar. Ketika Bambang Sugiharto di depan kelas mengajukan kritik-kritiknya terhadap agama, maka ia menujukan itu untuk "membongkar aspek ilusoris agama, agar kita semua dapat intinya". Keren.

Ada tiga kritisi yang akan saya ajukan. Dan saya tidak malu jika ada beberapanya merupakan kutipan (memangnya saya saja yang mengkritik agama?). Tapi pengambilan referensi itupun hanya akan dilakukan jika relevan dengan pengalaman. Perlu diingat, ketika berbicara agama, orang sering terjebak dan akhirnya membicarakan Tuhan. Menurut saya, keduanya entitas yang berbeda meskipun bisa berkaitan. Tulisan ini adalah soal agama, yang sengaja saya posting sebelum lebaran, agar jika terjadi hal yang kurang berkenan, bisa langsung maaf-maafan. =p

1. Narsis

Alkisah Narsisus, orang Boeotia yang dianugerahi wajah yang tampan, jatuh cinta kala melihat bayangannya sendiri di kolam. Ia tak tahan, lalu menerkam, lantas tenggelam. Untuk apa saya ceritakan itu? Karena kata narsis belakangan tak lagi jelas dan diucapkan dimana saja seolah tiada artinya. Ini sekedar mendudukkan kembali darimana kata Narsis berasal, dan dalam konteks apa ia sebaiknya digunakan.

Agama, seperti halnya Narsisus, punya kecenderungan mencintai diri sendiri. Ia seperti melihat ke cermin, dan terus-terusan berkata bahwa saya baik dan saya benar. Di satu sisi, ini bagus, dan menunjukkan kepercayaan diri. Ketika seseorang percaya diri, maka ia akan resisten dan berpotensi maju terus mengatasi rintangan. Namun ini menjadi berbahaya, ketika kepercayaan akan eksistensi diri tidak ditunjang dengan empati. Ini sama dengan oposisi biner modernitas: jika tidak satu, maka nol. Jika saya ganteng, maka yang lain diluar saya buruk rupa. Jika saya baik, maka yang lain diluar saya jahat. Dan ini, ini, justru kecenderungan agama kebanyakan.

Dalam tradisi agama saya, memang ada ayat yang menekankan pluralisme agama, tapi sedikit sekali, kalau tidak bisa dibilang satu ayat. Sisanya ada penekanan istilah kafir, sebagai orang yang tidak mau mengimani agama saya ini. Dan kafir dipastikan berdosa, masuk neraka, untuk disiksa akibat kesalahannya itu. Saya yakin ungkapan macam ini ada di agama-agama lainnya, meski detilnya saya tak paham benar. Jika urusannya masih terkait dengan pengerasan identitas barangkali masih bolehlah, tapi tak jarang kenarsisan ini malah destruktif. Perang Salib, Pemberontakan Taiping, Pemberontakan Sri Lanka, Pemberontakan Teratai Putih, serta Pemberontakan Syal Kuning, adalah buah narsisme agama yang menghasilkan jutaan korban jiwa.

Bisa saja memang pelbagai perang dan pemberontakan tersebut didasari rasa tertekan oleh penguasa. Tapi agama biasanya berandil besar untuk membentuk landasan pemersatu yang kuat dan mendadak membuat manusia mau mentransformasikan nilai-nilai kehidupannya ke hari kemudian, dalam arti kata lain: berani mati. Ada pemahaman yang bagus sekali dari Bilangan Fu-nya Ayu Utami, bahwa persoalan terjadi karena ada "angka satu". Ketika agama berandil merepresentasikan "Tuhan yang satu", maka itu sama dengan, oposisi biner itu tadi, "Tidak ada Tuhan yang lain" atau "Tuhan yang lain itu nol". Demikian kenarsisan itu bisa berbuah konflik.

2. Dogmatis

Jika soal ini, saya benar-benar terinspirasi dari kuliah Bambang Sugiharto: dogma itu begini, katanya; ia adalah pernyataan, yang seolah-olah menggambarkan suatu kenyataan. Dalam Islam, dogma terkandung dalam aqidah, yakni seperti iman kepada Allah, nabi dan rasul, kitab, malaikat, hari akhir, dan takdir baik-buruk. Persoalannya, kata Pak Bambang: pernyataan dogma selalu ingin dianggap sebagai kenyataan sejati yang tak terbantahkan. Padahal, realitas ilahi itu bisa tertangkap dengan common sense biasa-biasa saja, tak perlu pakai dogma segala. Yang jadi bahaya itu ketika, kita menganggap dogma sebagai kebenaran, tanpa lebih dulu menggunakan common sense.

Misalnya, ini barangkali yang terjadi dengan aksi terorisme: ketika dogma seolah-olah mengatakan "membalas orang kafir yang sudah menzalimi orang muslim itu wajib hukumnya, dan sama dengan jihad", maka barangkali mereka ini sudah lupa dengan hati nurani yang bagi saya, 'mudah didengarkan jika mereka mau', yakni: membunuh itu tidak boleh adanya. Pastilah, saya yakin, mereka mau capek-capek melaksanakan bom bunuh diri, dengan lebih dulu bergulat dengan hati nuraninya. Hati nuraninya itu kemudian diperlawankan dengan dogma yang sudah ditanamkan oleh para atasannya.

Pak Bambang, masih Pak Bambang, pernah dengan baik mencontohkan soal hati nurani, bahwa: kita semua tidak serta merta menerobos lampu merah, bukan semata-mata karena takut polisi; dan kita tidak membunuh sesama, bukan karena semata-mata takut dosa. Poinnya adalah, kita semua punya kesadaran alamiah, yang bertendensi menuju kebaikan, dan itu merupakan hal di luar reward-punishment yang ditawarkan dogma agama. Apakah dengan demikian kita bisa hidup tanpa agama dengan tetap baik, benar, dan normatif? Mungkin sekali bisa, jika hati nurani terus memandu, hati nurani yang kata Franz Magnis Suseno, adalah Allah itu sendiri.

3. Eskapis

Para atheis terkemuka dalam sejarah filsafat Barat, macam Feuerbach, Marx, Sartre, Freud, dan Nietzsche, secara garis besar sepakat bahwa agama tidak lebih daripada pelarian manusia dari kenyataan, kebebasan, dan keberdikarian. Marx cukup kencang menyuarakan ini, bahwa agama tak lebih daripada candu, ia merusak masyarakat dengan ajarannya yang kontraproduktif dengan semangat proletariat kaum komunis, seperti misalnya pesimis dan fatalis. Freud bilang, bahwa dalam penelitian psikoanalisisnya, orang beragama dan orang sakit jiwa punya gejala yang mirip, yakni, ya itu, eskapisme. Seperti anak kecil yang mengadu pada ayahnya ketika bermasalah, demikian halnya orang beragama, yang lari pada Tuhan alih-alih menyelesaikan persoalannya. Dengan tegas ia mengatakan agama tak lebih daripada: neurosis kolektif (sakit jiwa massal) dan ilusi infantil (halusinasi yang kekanak-kanakan).

Saya pernah, dalam penelitian saya tentang Konfusianisme, eskapisme itu sebenarnya tergantung. Tergantung apa? tergantung: bagaimana tingkat kedetilan agamamu bercerita tentang hidup setelah mati. Dalam Islam, jelas bahwa soal akhirat ini menjadi salah satu tema utama. Meskipun dalam pemahaman saya, Islam sering menekankan keseimbangan dunia-akhirat, tapi bagaimana kau bisa percaya itu seimbang, jika akhirat dikatakan kekal? Maka itu, dampaknya, ketika hari akhir diceritakan secara detil, kau akan kehilangan banyak makna di dunia, karena pikiranmu selalu mengeskapiskan diri ke alam sana. Dalam Konfusianisme, beda lagi (ini dengan asumsi Konfusianisme adalah agama, meskipun banyak yang bilang bukan), ketika Konfusius mendapat pertanyaan dari muridnya, "Guru, apakah kematian itu?", dijawab sang saga: "Kau tidak akan paham kematian, sebelum paham kehidupan." Dan ini signifikan terhadap pandangan dunia (world view) masyarakat Tionghoa. Orang Tionghoa mencari nilai-nilai akhirat dengan mengeksternalisasikan nilai-nilai keduniawiannya. Misalnya, mencari uang di dunia, adalah sama dengan memperkaya diri di akhirat; punya rumah bagus di dunia, adalah sama dengan yang ia dapatkan nantinya di akhirat. Jadi eskapisme ini tidak bisa dipukul rata. Eskapisme dalam Buddha bahkan menekankan untuk melepaskan diri dari dunia sepenuhnya, karena dunia adalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan.

***

Tadinya, biar keren, saya ingin mencantumkan lima, yakni dua poin tambahan: statis dan paradoks. Statis berarti agama adalah produk lama, dan sulit menyesuaikan diri dalam hiruk pikuk kehidupan jaman sekarang, sedangkan paradoks berarti berbagai kontradiksi dalam agama, misal: diajarkan untuk berpikir, tapi kenyataannya lahan untuk berpikir dalam agama itu sering tergerus oleh iman. Namun saya sadar, kedua poin tersebut sangat erat kaitannya dengan interpretasi manusia. Memang, tiga poin awal juga pastinya berkaitan dengan interpretasi, namanya juga teks. Tapi, tiga awal itu setidaknya, tanpa campur tangan manusia, kelihatannya memang begitu adanya. Narsis tertulis, dogma tertulis, eskapisme juga ada. Kalau statis dan paradoks saya cantumkan juga, pastilah ada komentar klise: gimana orangnya itu mah.

Semoga posting ini memang menunjukkan kecintaan saya. Amin.


Sumber gambar:
http://www.motifake.com/image/demotivational-poster/0807/religion-demotivational-poster-1216727967.jpg

Comments

  1. Saya merasa dibenarkan untuk bertanya semenjak baca buku Menalar Tuhan dari Frans Magnis Suseno bahwa tidak apa-apa untuk bertanya karena manusia diberi akal pikiran untuk bertanya dan kebenaran yang hakiki berasal dari keraguan. Karena selama ini kok kayaknya agama begitu tabu dan question-proof. Hhe.

    Oh ya, masih belum ngerti tentang Konfusianisme, apakah itu awalnya dimulai sebagai the way of life?

    Nuhun.

    ReplyDelete
  2. kayanya kamu perlu denger ceramahnya bambang Q-aness ustadz sufi yang bisa memberi pemahaman berbeda soal agama (islam). kalo kamu terpukau sama bambang S, aku suka sama penjelsan-penjelasannya Bambang Q.. agama itu energi yang luar biasa kalo ga diimani dengan kesadaran dan keberanian untuk menalarkannya ya seperti 3 hal yang kamu sebut tadi.. btw.. tulisan-tulisan kamu asa makin waas dan relihius.. hihihihi.. apa karena pengaruh bulan romdon?

    ReplyDelete
  3. @Nia: Konfusianisme awalnya ajaran biasa-biasa aja, dalam artian ia tak lebih dari sebuah respon atas situasi di Cina yang kacau kala itu (sekitar 500 SM). Tapi bukankah semua ajaran semacam agama datang pas situasi lagi kacau? Nah, kembali ke pertanyaan, apakah Konfusianisme itu awalnya adalah way of life? Itu sulit menjawabnya. Tapi jika pertanyaannya, apakah sekarang Konfusianisme menjadi way of life bangsa China? saya jawab ya, sadar tidak sadar. Dengan bangsa China hormat kepada sesama kerabat, mencintai perdagangan dan menganggapnya sebagai religiusitas tersendiri, serta membangun prinsip kewirausahaan, adalah sama dengan menerapkan fondasi Konfusianisme. Jika itu sudah menjadi way of life, rasanya derajatnya sudah lebih tinggi dari agama, karena way of life terekplanasi dari perbuatan, sedangkan agama biasanya ada pada tataran ritual.
    @Mbak Tarlen: Eh Mba Tarlen, kenapa bisa bilang tulisan saya waas dan religius, sedangkan saya lagi mengkritik soal agama? Tapi Mba Tarlen benar, hati saya lagi agak damai sekarang, dan religiusitas udah mulai sedikit-sedikit mengusik hehehe. Saat ini, identitas galau lagi agak kurang relevan hehehe.

    ReplyDelete
  4. itu tandanya kegalauan bagian dari pencarian kamu.. galau jeung ababil teh jauh pisan bedana..semua filsuf, semua orang yang mencari pasti akan galau.. cuma ada galau yang dibuat-buat alias jadi identitas statis meski dah ga galau tetep berusaha galau karena galau udah jadi merek dagangnya.. heheheh.. yang begitu namanya galau artifisial..
    tapi ku kira, kamu galaunya cukup orisinil.. karena galaunya menjadi warna dari pencarian identitasmu yang senantiasa bergerak.. heheheh jadi kan ga percumah atuh skripsi soal konfusius, selera musik klasik, ikut kuliah filsafat, mengimami bambang s dan sekolah s-2 komunikasi, karena itu semua menjadi bekal untuk menuju ke perjalanan yang paling subtil dari kegalauan itu sendiri: perjalanan menemukan Tuhan...selamat menjaga kesadaran dan keberanian untuk senantiasa menalar... kegalauan itu seperti rasa takut, tidak pernah bisa di hilangkan, tapi bisa diawasi dengan nalar dan kesadaran..:)

    ReplyDelete
  5. @Mba Tarlen: Iya Alhamdulillah Mbak, sejak sering menulis, banyak sekali kegalauan yang terefleksikan, ada yang terasa keren, ada yang memalukan hehehe. Yang pasti, saya sebenernya sempet menyimpan satu kalimat yang bagus dari Mba Tarlen, "orang yang mampu mengkomunikasikan pemikirannya agar bisa dicerna dengan mudah, artinya ia sudah berpikir keras sebelumnya. Sebaliknya, orang yang pemikirannya tidak bisa terpahami, berarti ia berpikir sederhana". Itu influential banget buat tulisan-tulisan dan eksplanasi lisan saya.
    Alah jadi warara'as kieu euuuuuyyyy.. hahahaha

    ReplyDelete
  6. CMIIW ya.. saya masih enggak tahu soalnya.

    Kalau diasumsikan bahwa Konfusianisme itu adalah agama, berarti ini bukan agama samawi? Berarti dari manusia itu sendiri (kayak Buddhisme yang konon berasal dari the way of life)?

    ReplyDelete
  7. @Nia: Apa itu CMIIW?
    Oh kalau klasifikasinya agama samawi atau bukan, jelas bukan, karena bukan dibawa oleh Nabi Ibrahim and the gank. Mungkin maksud Nia way of life itu begini kali ya: berasal dari pengalaman pribadi satu orang, untuk kemudian diajarkan dan dicatat oleh murid-muridnya, terus dibukukan, dan jadi teladan. Gitu?
    Memang beda dengan agama samawi, yang biasa disebut juga dengan agama langit, karena asal-usulnya yang tidak jelas dan sepertinya "datang begitu saja". Jika itu yang Nia maksud dengan way of life, maka jawabannya ya, Konfusianisme adalah way of life.

    ReplyDelete
  8. CMIIW adalah Correct Me If I'm Wrong.

    Iya, itu maksud saya. Sip deh, sudah terjawab. Nuhun.

    ReplyDelete
  9. Saya tertarik dengan analogi bahwa mengkritisi agama (yang sudah melekat pada diri selama sekian puluh tahun) sama dengan mengkritisi cara orang tua dalam membesarkan kita sekalipun kita belum punya anak.

    Teman saya yang cukup religius suatu hari pernah berkomentar tentang beberapa atheist yang dikenalnya semasa kuliah. Katanya, lucu apabila seseorang mengklaim dirinya atheist tetapi dirinya masih bergantung pada orang tuanya.

    Saya jadi bertanya-tanya, analogi 'orang tua' ini sebetulnya tentang agama atau tentang Tuhan? Yang saya tangkap dari tulisan ini, dan komentar teman saya, yang diibaratkan seperti orang tua adalah ajaran agama yang telah diinternalisasikan dan diplot sebagai cara hidup sejak kita masih kecil.

    Menurut saya 'kritik terhadap agama' sebagaimana 'atheist' merupakan istilah-istilah yang 'berat'. Maksudnya ketika mendengar kata itu, orang-orang punya pemikiran yang bisa jadi berlawanan dari makna yang sebetulnya dikandung oleh istilah-istilah tersebut.

    ReplyDelete
  10. @Andika: Terima kasih Andika. Menurut saya itu bebas-bebas saja soal analogi orangtua, boleh pada Tuhan atau agama. Yang penting berkaitan dengan "prinsip yang dipegang sejak kecil". Tapi menurut saya, agama lebih cocok dipertautkan dengan analogi tersebut, karena sama-sama "terberi", sama halnya dengan kita tidak bisa memilih orangtua kita. Kalau Tuhan rasanya semua orang "punya" dalam terminologi yang beragam.

    Memang benar, ateis dan agnostik punya kecenderungan untuk justru membenarkan apa yang dia tentang. Malah saya berani bilang, bahwa ateis sejati, adalah sekaligus teis sejati juga. Marx pernah berkata, "manusia yang mencari Tuhan dalam kesemestaan alam supranatural, tidak akan menemukan apa-apa kecuali dirinya." Ini konon pernyataan ateistik, tapi bagi saya sungguh terdengar religius. Ingat Syekh Siti Jenar? yang berkata, "Tuhan adalah saya". Atau konsep Islam yang bilang bahwa, "Allah berada lebih dekat dari urat nadimu sendiri".
    Maka itu, karena tahu ujung-ujungnya pasti ada kesan paradoks, saya buru-buru tegaskan dari awal, bahwa kritik ini datang justru karena kecintaan saya.

    ReplyDelete
  11. Ibrahim atau Abraham tidak begitu mudah mendapatkan status agama dan menemukan Allah penciptanya, melihat mencari dan merenungi fenomena alam, lingkungan sekitarnya, hingga akhirnya setelah ia menemukan apa yg disebut Tuhan, walaupun dibakar hidup-hidup ia tetap yakin atas sikapnya..
    apabila seorang Prophet saja harus berjuang mencari...apalagi manusia biasa...
    kita sudah mendapatkan status beragama sejak bayi..begitu mudahnya :)

    ReplyDelete
  12. Mas Syarif...apa itu Agama? kenapa dia disebut agama? karena yang saya yakini sampai sekarang, manusia yang Atheis pun, beragama...atau?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1