Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

KlabKlassik dengan Dua "S" (Tribute to Mas Niman)

 

Jika kalian, wahai para penggiat di KlabKlassik, merasa bahwa komunitas ini tengah dalam kondisi menyenangkan, maka saya coba bahas darimana kita ini berasal. Agar kita tidak termasuk golongan Malin Kundang yang setelah mengalami nikmat duniawi lalu lupa pada wanita yang melahirkannya ke dunia.

Kita ini, diberi nama KlabKlassik, jangan tanya saya, Bilawa, Royke, atau Iyok, atau Kang Trisna kenapa-kenapanya. Bukan, bukan kami yang menamainya. Adalah seorang penikmat jazz sekaligus koordinator komunitas jazz bernama KlabJazz, yang menamai kita seperti ini, lima tahun silam. Ia pun, sesungguhnya, barangkali tidak tahu kenapa melabelinya dengan dua huruf "s". Saya cuma pernah mendengar pernyataan beliau: "Karena setahu saya, klasik itu nama salah satu periode dalam sejarah musik Barat. Jadi klasik disini mengacu pada hal yang berbeda." Demikianlah beliau berkata, dan kami yang tak paham mengangguk tanda iya. Adakah kami paham sekarang? Sesungguhnya tidak juga, tapi kami sudah menganggap dua "s" itu sebagai ciri yang memang telah melekat. Seperti kata Bilawa: Biarkan saja jika memang dua "s" tidak bermakna, setidaknya itu memudahkan orang dalam mengingat.

Dia orangnya, beliau, yang memberi kita pada mulanya, sebuah hari di minggu kelima pertemuannya. Jadi begini, KlabJazz berkumpul setiap hari minggu, dan jika di suatu bulan terdapat minggu kelima, itulah saatnya KlabKlassik beraksi. Beliau tak cuma merelakan pertemuan komunitasnya diambil kami, anak ingusan yang haus eksitensi, tapi juga mau mengundang komunitas jazznya untuk tetap turut serta dalam KlabKlassik. Jadilah pertemuan kami seolah banyak orang yang datang, biarpun mereka entah suka musik klasik entah tidak, atau barangkali ada rasa kasihan terhadap kami-kami yang tak jelas ini.

Dia orangnya, beliau, yang mengingatkan bahwa: "Tidak boleh ada iuran bulanan, karena bayar berarti in, tidak bayar berarti out." Itulah ucapan yang mendasari, seluruh gerak-gerik kita sekarang ini. Jika ya, Ririungan Gitar Bandung bayar, itu disebabkan karena demi konser, agar anggota menjadi bertanggungjawab mengikuti latihan demi latihan. Karena absen satu atau dua kali dalam persiapan, akan mengganggu harmonisasi keseluruhan. Lagipula, siapa yang melarang kalian mengambil teh botol atau mie sebagai konsumsi? Keduanya berbeda harga, tapi di mata kami derajatnya sama: sama-sama dibayar dengan uang RGB.

Jika ya, akademi KlabKlassik membayar, juga karena ini sistem kelas lengkap dengan dosennya yang nyata. Artinya, kita semua tentu saja tidak mau mengecewakan sang dosen, baik oleh kehadiran, baik oleh imbalan. Sang dosen bukan seorang yang mata duitan, saya tahu betul. Tapi ia seorang yang mencintai apresiasi dari murid-muridnya. Dan berhubung klab tak mampu membayar jasa-jasanya dengan uang yang banyak, maka kami membayar dengan kehadiran yang bertanggungjawab. Bagaimana agar kehadiran bisa bertanggungjawab? Sebagai paksaan, ya lewat membayar. Dan kembali lagi, kau bisa ambil risoles ataupun kopi aroma sebagai konsumsi, dengan derajat yang sama.

Dia orangnya, beliau, yang kemudian entah kenapa ternyata bagaikan filsafat Wittgenstein: "Aku hanya memberi kalian tangga. Setelah kalian berada di atas, maka tak perlu lagi tangga itu. Agar kalian tak punya pilihan untuk turun." KlabJazz kemudian berjuang di tempat yang berbeda dengan kami. Sementara kami, KlabKlassik, terus mencari bentuk sampai selama-lamanya: "Tempus mutantur, et nus mutamur in ilid" Waktu berubah, dan kita ikut berubah di dalamnya.

KlabKlassik sekarang, bagi saya, adalah tempat dimana saya tak perlu takut jadi manusia terasing di tengah mekanisasi rutinitas perkotaan. Ada masa satu hari dalam seminggu dimana saya mewaraskan diri. Menggunakan segenap hati untuk melakukan sesuatu yang tidak berguna. Karena adakah segala sesuatu mesti berguna? "Bersiul pun tidak berguna," demikian kata Goenawan Mohamad. Ini adalah tempat dimana saya menghabiskan ongkos, waktu, tenaga untuk kesana. Yang oleh manusia ekonomi saya ini dibilang inefektif, karena kemudian apa yang saya lakukan tidak mengembalikan modal yang telah saya keluarkan. Tapi jika Nietzsche berkata, "Hakekat kehidupan adalah kehendak untuk berkuasa" maka dari klab saya belajar, "Hakekat kehidupan adalah mengekspresikan rasa cinta" Dan jika kau mempunyai sesuatu, ataupun tempat, ataupun manusia, tempat kau mengekspresikan rasa cintamu secara bebas, maka barangkali damailah engkau. Dan jika memang ekonomi berbicara tentang uang, tidakkah uang nantinya juga digunakan untuk mengekspresikan rasa cintamu akan sesuatu?

Akhirul kata, semoga tulisan ini adalah bentuk rasa syukur atas adanya tempat yang barangkali Tuhan akan berpikir ulang jika mau menggelar kiamat. Setidaknya masih ada satu tempat dimana orang masih mau menggerakkan kakinya untuk sesuatu yang tak praktis. Sesuatu yang melampaui kepraktisan, yang cuma bisa dijawab oleh makna yang tertanam dalam masing-masing orang. Yang hingga kini kami tak pernah paham kenapa Kang Trisna dari Subang mau jauh-jauh datang ke pertemuan klab yang cuma dua jam lalu lantas pulang. Yang hingga kini kami tak pernah paham kenapa Mas Yunus dalam kondisi tipus mau dengan sempoyongan datang ke klab untuk mendengarkan haha hehe kami yang pasti kemasannya jauh lebih tidak menarik dibanding filosofi The Secret. Tidakkah barangkali, kiamat turun ketika semua orang sudah berpikir praktis? Semua orang sudah berpikir apa yang berguna bagi ia, dan tidak lagi menalar soal hal-hal yang melampaui itu?

Maka berbahagialah kita, dan berterima kasihlah pada orang yang jika tiada ide-idenya yang brilian, maka barangkali tak pernah ada klab ataupun tak pernah ada gairah untuk menjalankannya. Kita disini intinya mengikat silaturahmi, atau kata Kang Trisna, "klab ini dipersatukan oleh sesuatu, yang sesungguhnya bukan musik, tapi entah apa." Dan Mas Niman, Dwi Cahya Yuniman, kaulah beliau yang kami maksud. Dan kami berterima kasih sedalam-dalamnya atas batu pertama yang kau letakkan. Semoga kita bisa membangunnya hingga menjadi menara yang tinggi. Dan ketika sudah terlampau tinggi, seyogianya kita ingat tragedi Menara Babel yang mahsyur. Mereka tak mau lagi memandang ke bawah, tapi terus meninggikan menara, sehingga Tuhan menghukumnya dengan menjadikan lidah mereka bersilat berbagai bahasa.

Bach memberkati

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1