Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Football Manager dan Eksistensialisme


Meski sudah sepuluh hari berlalu, euforia Piala Dunia kemarin bagi saya masih terasa. Kelanjutan euforia tersebut saya wujudkan dengan instalasi Football Manager (FM) 2010 di komputer (Catat: Saya nyaris shalat istikharah untuk memutuskan membeli game tersebut atau tidak. Terakhir saya memainkannya tahun 2007 dan 2008, kuliah saya terbengkalai dan nyaris gagal!). Saya belum pernah mencoba narkoba, tapi jika katanya itu bikin kecanduan, maka bolehlah saya bilang FM ini semacam narkoba. Isinya, bagi orang yang tak paham, sepertinya cuma berisi teks-teks dan bulatan-bulatan yang tak masuk akal. Tak masuk akal jika dikaitkan dengan adanya orang yang epilepsi karenanya, layar retak oleh sebab FM non-stop dinyalakan seminggu, hingga orang pacaran menjadi putus karenanya. Dan pemutusan itu disimbolisasikan dengan dihancurkannya CD FM oleh pihak wanita.

Saya tahu betul laknatnya efek FM. Maka dengan berhati-hati, saya install game tersebut di komputer kakak saya, agar saya cuma bisa memainkan di kala kakak saya pergi. Tapi alih-alih terhindar dari kecanduan, saya malah dipergoki kakak saya kala bermain FM, dan beliau mengatakan: "Syukurlah komputer saya kepake juga. Sok terusin." Dengan legalitas tersebut, kecanduan menjadi tak tertahankan.

Saya merenung-renung kemudian, kok bisa ya teks-teks begini saja menjadi candu? Jika Marx masih ada, pasti ia tak cuma melarang agama, tapi juga FM. Nalar filsafati saya mengejar: melayang sejenak pada ujaran Kierkegaard, "Siapakah aku? Dari manakah aku? Mau kemanakah aku? Mengapa aku dilahirkan? Dan mengapa kelahiranku tidak dibicarakan dahulu denganku?" Ini ungkapan eksistensial yang cukup terkenal, menggambarkan bahwa eksistensi manusia pada dasarnya menyedihkan, karena salah satunya: ia berada di dunia tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja, kun fayakuun. Maka itu, jika saya bermain FM, pada dasarnya saya mempertanyakan eksistensi dasar saya (yang setuju dengan Kierkegaard: menyedihkan), sekaligus menginginkan semacam eksistensi yang lain. Seolah-olah jika eksistensiku bisa dibicarakan, maka aku memilih untuk menjadi pelatih bola.

Lalu teringat saya akan pernyataan keras Nietzsche, "Hakekat hidup adalah kehendak untuk berkuasa!" Saya sempat maju mundur memberikan dukungan atas kalimat tersebut, tapi ketika main FM, saya semakin mengarah pada setuju. Dalam artian, tidakkah FM merepresentasikan kehendak untuk berkuasa? Kapan lagi kau, hai para pecandu, punya kesempatan mengatur dengan seenaknya pemain sekaliber Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, atau Wayne Rooney, dan memecatnya kalau kau mau? Kapan lagi kau, jika kau pembenci MU, punya kesempatan mempermalukan MU di Old Trafford, jika bukan di ranah FM? Kapan lagi kau, yang begitu gatal dengan kekomplitan Barcelona, tapi lemah di penjaga gawang, untuk kemudian mengganti Victor Valdes dengan Gianluigi Buffon atau Petr Cech misalnya? Di dunia nyata, Barcelona nyaris tak mungkin mendepak Victor Valdes karena loyalitas dan lokalitasnya. Tapi di FM, persetan dengan semuanya, skill tak bagus silakan keluar. Punya uang mari boyong yang kompeten. Belum lagi FM punya save, reset, quit. Jika kalah, kau bisa mengulang kapanpun sesukamu hingga kau menang. Tidakkah dunia nyata tak punya itu? Tidakkah game sesungguhnya ikut menyadarkan kita bahwa eksistensi manusia sesungguhnya menyedihkan? Tengok betapa nikmatnya bagi kalian yang pernah bermain Grand Thief Auto San Andreas. Menghancurkan kota, mencuri mobil, menembak kepala orang, menikam polisi, rasanya ingin sekali dilakukan di jalanan kota Bandung. Tapi sekali lagi, eksistensi yang terlempar ini, memenjarakan kita.

Maka itu, wahai para pemain FM yang masih aktif, belilah Daniel Aquino. Karena cuma di FM ia jago, di kehidupan nyata ia tak eksis. Dan saya yakin, seorang Aquino yang asli, berperasaan sama seperti kita. Ia menikmati aksinya di FM, tapi sekaligus menyadari bahwa dirinya begitu menyedihkan.

Comments

  1. tulisannya cerdas mas, rasanya bener banget, saya juga penggila fm soalnya, hahaha..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1