Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti"). Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya
Ide tulisan ini bukan ide baru. Saya terinspirasi dari tulisan Kang Ibing menjelang final Piala Dunia 1998 di Harian Umum Pikiran Rakyat, judulnya saya ingat: “Penantian yang berakhir dengan keueung (sunda: =sepi – red)”. Jadi waktu itu, tahun 1998, sedang musim krisis moneter di Indonesia. Piala Dunia sebagai pesta olahraga dunia, sukses menghibur masyarakat Indonesia yang tengah dililit krisis untuk sementara. Indikatornya, dimana-mana banyak terjadi nonton bareng, dan dengan hingar bingar diikuti pelbagai lapisan masyarakat. Tulisan Kang Ibing itu seolah menceritakan bahwa final Piala Dunia, yang waktu itu melibatkan Prancis melawan Brasil, adalah sesuatu yang dinantikan oleh sebagian besar manusia di dunia, khususnya di Indonesia. Tapi berakhirnya final adalah sekaligus juga kesedihan yang mendalam, karena Indonesia akan kembali dalam realitas krisis yang mencekam.
Setelah tahun 1998, Piala Dunia sudah bergulir tiga kali, tepatnya tahun 2002, 2006 dan sekarang 2010. Lagi-lagi perasaan itu tetap ada, dan saya yakin itu terasa bagi penonton Piala Dunia di negara miskin di manapun. Menjelang final, selalu ada perasaan takut jika peluit akhir dibunyikan dan piala telah diserahkan, kita semua akan kehilangan eskapis terbesar dalam sebulan terakhir: Sesuatu yang lebih jarang dari lebaran, sesuatu yang membuat jam tidur manusia Asia berbalik seketika, sesuatu yang membuat jantung berdetak setiap hari bagi mereka yang taruhan atau punya tim yang amat difavoritkan, serta sebuah gegap gempita dan histeria yang melarutkan masing-masing persona dalam lautan massa. Yang menonton Piala Dunia, tak selalu orang yang menyukai sepakbola, tapi mereka terpaksa ikut, karena ikut hanyut dalam demam global. Bagaikan mendadak harus menjadi shaleh karena kau berada di Makkah. Bagaikan seluruh manusia Eropa tenggelam dalam gelegak spirit Renaisans, dan asing rasanya melihat masih ada orang yang teosentrik.
Dan sekarang, eskapis terbesar itu akan segera pergi. Gongnya diawali dari gol Tshabalala, dan akhirnya kita belum tahu akan ditutup oleh gol siapa, dan siapa yang akan hadir di podium sana mengangkat trofi. Kita sudah sama-sama melewatkan ratusan gol dan drama getir dari panggung berwarna hijau itu. Dari mulai heroisme singkat Korut, tumbangnya duo finalis empat tahun lalu, insiden tangan Suarez, kegagalan penalti Cardozo, hingga akhirnya kita akan sama-sama melihat dua calon juara yang akan menorehkan nama negaranya di trofi untuk kali pertama. Habis terang benderang final yang akan ditonton milyaran manusia di seluruh dunia ini, kegelapan siap menyelimuti kita lagi: kembali ke realitas kesibukan manusia yang absurd dan tak berujung. Tapi jika atas dasar itu kemudian FIFA jadi menyelenggarakan Piala Dunia setahun sekali, maka alih-alih jadi solusi, yang demikian malah jadi sumber absurditas yang baru. Jadi empat tahun ini sudah pas sekali nampaknya. Empat kali kita bertemu lebaran dan empat kali itu kita berjuang menghapus dosa. Tapi setelah empat kali, ada satu momen kesempatan kita berganti agama untuk sementara. Agama sepakbola yang tak kalah mulia, karena ia sama-sama menyelamatkan dari krisis, kendati tak permanen. Tapi tidakkah agama kebanyakan juga demikian?
Comments
Post a Comment