Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Percakapan Singkat di Meja Makan


Ketika saya mengatakan, "Pak, Bu, kami berencana menikah," tatapan Papap berubah. Ia tak lagi memandang kami yang berada di hadapannya. Ia melihat ke balik bola matanya, kepada timbunan kenangan lama yang terbujur dalam sunyi. Papap berbicara bukan sebagai ayah berusia enam puluh, tapi bak pemuda seumuran kami yang gairah kehidupannya masih menyala-nyala.

"Kami bersyukur atas niat kalian. Tapi tunggulah sampai saya selesai berpameran. Setelah itu baru kita mulai mempersiapkan, agar kalian bisa sejahtera sentosa untuk ke depannya."

"Tahun depan akan lebih baik. Menikah berarti menerjang badai dalam lautan, siapkan layar yang kuat."

Papap, dalam wujud pemudanya, mengingat dengan jelas ketika ia mengutarakan niat menikahi Mamah. Nini bertanya dengan lembut setelah pemuda bernama Wawan itu mendatangi kediamannya dengan api yang menyala-nyala di mata, "Wan, kamu sudah punya apa?" Wawan menjawab dengan percaya diri, "Saya punya niat baik." Nini merespon bersama senyum yang mengembang, "Itu sudah lebih dari cukup."

Pemuda bernama Wawan itu, yang hari ini sudah berusia enam puluh, percaya bahwa hidup adalah untuk diwariskan. Bahwa selalu ada secuil keinginan dalam dirinya agar siapapun penerusnya bisa mengimitasi sebagian saja dari hidupnya. Bahwa kebaikan tertinggi adalah kepercayaan bahwa dunia masih akan berjalan untuk waktu yang lama, maka itu jika saya yang gagal memperbaikinya, biarkan anak cucu yang kelak punya kekuatan untuk menjadikannya lebih baik.

Papap yang bola matanya kembali ke meja makan tempat kami duduk, berkata seperti ia sudah gembira telah berjumpa dirinya di masa muda, "Sekian pembicaraan hari ini. Cuma itu yang bisa saya katakan, saksinya kue lapis dan cangkir kopi di meja ini."

Comments

  1. Semoga pernikahannya pun lamanya tidak sesingkat pembicaraannya. Amen!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1