Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Pernikahan


Pernikahan saya akan berlangsung delapan bulan lagi. Renungan tentang mengapa, bagaimana, akan seperti apa, tentu saja kerap terlintas. Sempat saya membayangkan pernikahan adalah seperti via dolorosa, jalan derita yang dilalui Kristus sebelum disalib. Ia menapaki sesuatu yang berat, susah, berdarah, tapi sesungguhnya demi sesuatu yang lebih tinggi, agung, dan mulia. Dalam keadaan mental yang lebih skeptik, saya membayangkan pernikahan adalah upaya pengerdilan percik-percik api asmara oleh lembaga. Karena cinta barangkali terasa menggairahkan ketika kita mencicipi potongan-potongannya, bukan menelan keseluruhannya.

Pernikahan juga, sempat saya membayangkan, adalah momen batas tegas dimana kita menjadi dewasa. Dewasa adalah impian sebagian orang, tapi sekaligus momok sebagian lainnya. Terkadang menyenangkan melihat segala sesuatu hitam putih tanpa usah dipikirkan dalam-dalam. Terkadang asyik menanggapi banjir sebagai danau yang membuat kita bisa berenang, alih-alih menganggap itu bencana yang menghanyutkan harta benda.

Pernikahan juga berarti potensi untuk mempunyai anak kelak. Anak yang, kata Gibran, dibangun dibina untuk menjadi seseorang yang lepas seperti anak panah. Anak yang barangkali suatu hari nanti akan menjadi Oedipus yang membunuh ayahnya sendiri.

Tidakkah absurd? Tidakkah mengerikan?

Waktu semakin dekat, pemaknaan semakin mengerucut. Pada akhirnya saya tidak mungkin mengatakan suatu apa pun tentang pernikahan tanpa mengalaminya. Tidak fair. Yang mesti dikumpulkan hari demi hari adalah keyakinan. Keyakinan bahwa saya sedang bergerak dari manusia estetis ke etis Kierkegaardian: Hidup demi tanggungjawab, menunda kebahagiaan untuk kebahagiaan yang lebih besar. Bahwa justru karena pernikahan itu absurd, tiada jalan lain kecuali mengimaninya, melakukan leap of faith sehingga yang gelap jadi terang.

Yang terakhir. Menikah barangkali adalah semacam suatu ungkapan optimistik tentang peradaban. Bahwa manusia dan kehidupan di muka bumi masih akan berlangsung untuk waktu yang lama. Jika bukan saya kelak yang menebar benih damai di dunia, maka biar penerus saya kemudian.

Selanjutnya adalah doa, "Ya Tuhanku, semoga pernikahan kami nanti diberkahi layaknya Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra. Biarkan tubuh kami yang menua, lapuk dimakan usia, tapi jiwa kami memuda bagaikan Alexander Supertramp yang lepas dari kedua orangtua. Amin."

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1