Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Filsafat di Antara Masjidil Haram dan Gelora Bung Karno

 

Di tahun 2010 kemarin, saya berkesempatan mengunjungi dua tempat yang bagi saya sama-sama besar. Bulan Maret, saya diajak untuk turut serta orangtua umrah ke Tanah Suci. Berjumpa Ka'bah yang berada di dalam Masjidil Haram, ratusan ribu bahkan jutaan manusia yang terpusat ke sana selama nyaris dua puluh empat jam setiap hari mustahil tak membuat hati tergetar. Terasa sekali luapan spiritual yang besar dan meledak-ledak. Muslim manapun yang menjejakkan kakinya di Tanah Suci nyaris sulit untuk menolak nilai-nilai religius maupun spiritual. Karena suasananya sangatlah mendukung. Fascinatum et Tremendum.

Tempat kedua adalah di bulan Desember, yakni Gelora Bung Karno. Secara luas bangunan dan jumlah massa yang datang, sepertinya tidak sebesar Masjidil Haram. Saya kesana untuk membeli tiket final Piala AFF. Mengantri sejak tengah malam, saya tetap gagal mendapatkannya di pagi hari dan antrian massal itu sendiri berujung kerusuhan dan pengrusakan.

Yang menarik adalah sesungguhnya keduanya bagi saya punya persamaan dari segi perasaan. Setelah mengalami pengalaman religius di bulan Maret, bulan Desember pun sesungguhnya memberi saya perasaan yang mirip-mirip. Bahwa dalam kondisi emosi massa yang meluap-luap, kita mau tidak mau akan ikut terbawa arus. Dalam insting kolektif, manusia akan kehilangan identitas personal maupun kekhasannya sebagai individu. Di Masjidil Haram, saya yang biasa shalat bolong-bolong menjadi rajin dan khusyu. Di Gelora Bung Karno, saya yang sering mencemooh suporter yang rusuh malah menjadi ikut-ikutan rusuh. Keduanya identik dan tidak bisa serta merta menempatkan sepakbola pada posisi yang inferior dibanding agama. Sepakbola, bagi strata masyarakat tertentu atau bahkan bagi rakyat yang kehilangan jatidiri, adalah "agama" yang patut dibela. Tidak sedikit yang datang jauh-jauh dari Jawa Timur maupun Papua, ikut berdesak-desakan dan "berjihad" untuk tontonan sembilan puluh menit bola digulingkan kesana-sini.

Kemudian ada filsafat. "Makhluk" yang satu ini kerap dituduh bertentangan dengan agama. Tapi sesungguhnya ia berperan untuk melakukan distansiasi alias pengambilan jarak. Filsafat merupakan satu cara bagi manusia untuk bertindak atas nama akal pikirannya sendiri. Ini sangat dibutuhkan ketika individu lebur dalam lautan massa yang menelan keunikan persona. Filsafat mengajak keluar dari kerumunan dan mempertanyakan apa yang sesungguhnya kita lakukan tanpa terpengaruh emosi-provokatif. Ia menggiring untuk berpikir jernih, ketika rombongan manusia ikut mengelilingi kubus hitam kosong, kita diajak bertanya, "Betulkah Tuhan di dalam sana?" Ia menggiring untuk berpikir jernih, ketika stadion dirusak dan kursi-kursi dilemparkan sebagai bentuk amarah, kita diajak bertanya, "Siapa musuh kita sesungguhnya?"

Ketiadaan pola pikir filosofi inilah yang kemudian menjadikan banyak makhluk yang pulang dari Tanah Suci tidak lebih dari sekumpulan manusia yang terombang-ambing. Ia taat ketika arus religiusitas melanda. Lalu ia jadi laknat ketika di Tanah Air, bersama kawan-kawannya, ia ikut arus korupsi. Ia tidak menjadikan renungan dari Jalaluddin Rumi ini sebagai distansiasi yang menyegarkan kalbunya:

Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah.
Dia tidak ada di sana.
Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf
Dia ada di luar jangkauan Avicenna
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.
Dia tidak di tempat lain.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1